TEMPO.CO, Solo - Raden Mas Hendromartono, demikian namanya, biasa dipanggil Hendro. Pria yang lahir dua tahun sebelum kemerdekaan itu menghabiskan setengah abad hidupnya sebagai eksil di Azerbaijan.
Masa kecil Hendro dihabiskan di Kampung Joyontakan, Solo, Jawa Tengah. Menilik gelar Raden Mas di depan namanya, menunjukkan dia masih keturunan ningrat. Keluarganya hidup berkecukupan, sehingga Hendro bisa memperoleh pendidikan yang cukup layak.
Baca: Tokoh Eksil Indonesia, Ibrahim Issa, Tutup Usia
Pada tahun 1962, Hendro berhasil menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Menengah Atas St Yosef, salah satu sekolah swasta yang cukup terkenal di kota itu. "Setelah lulus, dapat tawaran beasiswa untuk kuliah di Rusia," katanya saat ditemui di rumahnya, Kamis 23 Maret 2018.
Tawaran beasiswa itu berasal dari Departemen Perindustrian Dasar dan Pertambangan (Perdatam). "Pada masa itu Bung Karno memang banyak menyekolahkan siswa-siswa berprestasi ke luar negeri," katanya. Hendro merupakan salah satu siswa yang beruntung dan berhasil lolos seleksi.
Tidak lama, berangkatlah Hendro bersama sekitar 60 lulusan SMA yang lain dari berbagai daerah ke Rusia. Mereka digembleng pelajaran Bahasa Rusia selama empat bulan. Baru setelahnya, mereka dikirim ke beberapa universitas, sesuai minat, bakat dan kebutuhan.
"Saya dikirim ke Azerbaijan," katanya. Dia ditempatkan di kampus yang cukup mentereng, Institut Minyak dan Kimia, yang sekarang bernama Azerbaijan State Oil Academy. "Indonesia saat itu memang sedang membutuhkan ahli-ahli di bidang perminyakan," ujar Hendro.
Baca: Para Eksil Tragedi 1965 Rayakan HUT RI ke-70 di Belanda
Saat itu, Azerbaijan memang dikenal sebagai sebuah kota penghasil minyak. Hasil ladang minyaknya bahkan mampu memenuhi kebutuhan energi bagi Uni Sovyet. Selain banyak perusahaan perminyakan, perguruan tinggi di daerah itu juga banyak membuka program studi perminyakan.
Hendro dan puluhan kawan-kawannya yang berasal dari Indonesia mengikuti perkuliahan dengan lancar. Bahkan, mereka sempat melompat dari tingkat I hingga tingkat III lantaran sebagian mata kuliah sudah dikuasai sejak masih semasa SMA.
Konsentrasi kuliahnya kemudian terganggu saat terjadi gejolak politik yang terjadi di Indonesia, yakni dimulainya kekuasaan Orde Baru diawali dengan penumpasan partai pendukung Sukarno yakni Partai Komunis Indonesia (PKI). Kondisi itu memang membuat resah para mahasiswa Indonesia di luar negeri yang identik sebagai orang-orang yang disekolahkan Sukarno.
"Banyak dari mahasiswa yang ditangkap begitu pulang ke Indonesia," katanya. Kondisi itu membuat para mahasiswa yang berada di luar negeri memilih tidak pulang. "Apalagi kami yang sekolah di negara-negara komunis," katanya.
Baca: Ini Kerinduan Para Eksil Tragedi 1965 di HUT RI ke-70
Beruntung, beasiswa bagi mereka masih tetap mengalir meski terjadi pergolakan di tanah air. Mereka pun masih bisa tetap bisa melanjutkan kuliahnya hingga selesai. Selanjutnya, mereka memilih untuk tetap tinggal di luar negeri, menunggu situasi politik di Indonesia berubah.
Hendro, bersama beberapa kawannya kemudian bekerja di kampus tempatnya kuliah. "Bukan sebagai dosen, namun peneliti," katanya. Hendro juga mendapatkan seorang istri warna negara setempat.
Hendro juga berstatus sebagai stateless karena semua dokumen kependudukannya sudah kadaluwarsa. Beruntung, Azerbaijan merupakan negara yang tidak membeda-bedakan kewarganegaraan. "Mendapat hak yang sama seperti warna negara setempat, kecuali hak politik," katanya.
Barulah saat kekuasaan Orde Baru tumbang, Hendro berani kembali berkunjung ke Indonesia. Dia bisa kembali mendapatkan kewarganegaraan setelah pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Undang Undang nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan. Lantas, pada 2012, barulah dia terbang dari Azerbaijan untuk menetap di kampung asalnya, Joyontakan.