TEMPO.CO, Jakarta - Tokoh pemuda Myanmar, Thinzar Shunlei Yi, aktif menggalang perdamaian dan pemahaman tentang HAM di kalangan anak muda di negaranya dan bersikap kritis terhadap lemahnya pemahaman mereka tentang isu Rohingya. Sehingga mereka terbawa arus informasi sepihak militer dan kelompok ultra nasionalis Budha, Ma Ba Tha. Ia pun menyesalkan lemahnya peran ikon demokrasi Myanmar, Aung San Suu Kyi. Di berbagai forum, baik di negaranya maupun di level internasional, ia menyuarakan tentang situasi negaranya.
Berikut petikan wawancara Thinzar Shunlei Yi dengan Maria Rita Hasugian melalui surat elektronik di tengah kesibukannya untuk bersiap mengikuti acara di Paris, Prancis, 17 September 2017.
Bagaimana situasi Yangon saat ini? Apakah masyarakat terkena dampak dari isu Rohingya misalnya ketakutan keluar rumah dan bepergian ke kota-kota lain dam takut menjalankan ibadahnya, juga takut menyatakan pendapatnya?
Saya menyaksikan Yangon sepi oleh karena kesedihan dan duka pada 25 Agustus. Awalnya kami terdiam oleh tragedi ini. Sekarang, Yangon hangat mendiskusikan bahkan memperdebatkan isu yang terjadi di negara bagian Rakhine. Krisis Rohingya berdampak pada kehidupan kami sehari-hari. Isu ini masih menjadi topik pembicaraan di warung-warung kopi dan rumah-rumah saat teman dan keluarga berkumpul. Yangon dan kota-kota besar terancam oleh rumor bahwa kelompok Islam Radikal akan meledakkan bom pada 11 September. Saya menerima pesan peringatan sebelum 11 September dari sejumlah teman dan anggota keluarga. Pada dasarnya, orang-orang takut pada teroris. Dan mereka mengkhawatirkan teman-teman mereka, keluarga dan komunitas mereka.
Pada saat yang sama, kelompok ekstrimis Budha dan individu-individu terus menyebarkan pernyataan-pernyataan kebencian melalui media sosial dan beberapa kasus yang ditakutkan terjadi dibahas di media sosial dan ternyata terjadi di Taungtwingyi, kerusuhan yang merusak toko-toko kaum Muslim dan seseorang menembak ke arah orang Muslim. Saya amati, orang-orang dari komunitas berbeda memberikan reaksi berbeda pada kasus ini. Masyarakat melindungi diri mereka sendiri dari ancaman, rumor dan kekerasan dalam realitas. Pejabat pemerintah juga bereaksi secara cepat ketika hal itu terjadi di Taungtwingyi tengah malam lalu. Saya merasa kami tidak ingin tragedi serupa terjadi seperti tahun 2012 ketika aksi kekerasan terjadi di seluruh negeri. Mereka menyatakan kebencian secara terbuka "teroris dan kekerasan" karena pemerintah Myanmar menginformasikan kepada mereka "kelompok teroris" yang disebut ARSA-Arakan Rohingya Salvation Army, telah menyerang pos polisi. Saya yakin ada situasi aneh dan keraguan antara dua kelompok penganut agama ini dan komunitas saat berita-berita ini muncul. Kejatuhan besar kelompok nasionalis Ma Ba Tha tahun lalu sebenarnya sungguh membantu. Atau, mereka malah membakar situasi demi agenda mereka di antara dua kelompok penganut agama ini.
Menurut Anda apa yang akan terjadi pada Myanmar sejak ikon demokrasi, Aung San Suu Kyi mendapat kritikan dari komunitas internasional terkait kekerasan yang terjadi pada Rohingya dan membuat mereka harus mengungsi ke Bangladesh?
Kami sangat sedih menyaksikan jatuhnya ikon demokrasi yang dipuji media internasional sejak 1990an. Tapi kami juga melihat kebangkitan politik Daw Aung San Suu Kyi. Di dalam negeri, dia masih sangat dihormati. Lautan manusia dari negara bagian memberi dukungan untuk pidato umum pertamanya tentang isu Rakhine kepada dunia dalam bahasa Inggris. Ini menunjukkan orang – orang mendukung apapun keputusannya. Jadi, saya pikir tekanan media internasional pada pemerintah tidak bekerja sebagaimana mestinya, tapi justru mempersatukan khalayak dengan pemahaman serupa untuk mengisolasi diri dari orang luar atau pihak ketiga. Pemerintah berlanjut tanpa terlalu mempedulikan tekanan internasional dan dalam beberapa minggu, pemerintah Myanmar mulai menerapkan rekomendasi Komisi Kofi-Annan serta pemulangan pengungsi dari Bangladesh.
Saya kira akan muncul isu lain saat pemerintah merelokasi pengungsi dalam sebuah wilayah. Akan menimbulkan dilema yang sangat besar bagi komunitas internasional sebagaimana pemerintahan saat ini merupakan pemerintahan sipil pertama dan terbaik yang diharapkan dari Myanmar. Namun saya ragu jika ia memiliki pengetahuan luas tentang situasi sebenarnya atau informasi yang dimilikinya tentang apa yang terjadi. Begitulah asumsi saya setelah pidato yang disampaikannya.
Anda bekerja untuk generasi muda Myanmar untuk membangun pengertian terhadap demokrasi dan nilai hak asasi manusia. Sejauh ini, apakah Anda melihat generasi muda mengerti dengan jelas akar permasalahan dalam krisis Rohingya?
Saya rasa tidak. Orang – orang muda sangat mudah terpengaruh oleh propaganda yang menyatakan bahwa pengungsi tersebut tidak berasal dari Myanmar dan mereka sedang berpura – pura di depan media internasional untuk mendapat simpati dan memberi tekanan pada pemerintahan saat ini. Saya pikir ini merupakan akibat dari kurangnya pendidikan tentang bagaimana membaca berita, bagaimana menyeimbangkan berita, rendahnya berpikir kritis dalam sistem edukasi dan pengelompokan internal pola pikir. Dan yang terpenting, isu ini tidak dibicarakan dengn seksama di dalam Myanmar, tapi lebih berdasarkan rumor dan pertukaran informasi yang tidak resmi.
Apa yang dipikirkan kebanyakan generasi muda Myanmar tentang Rohingya?
Orang – orang mungkin melawan militer tapi dalam kasus Rohingya, mereka terlalu diliputi oleh ideologi yang menganggap mereka mengganggu negara dan mengancam keamanan nasional. Generasi muda atau masyarakat umum berpikir Rohingya sebagai sebuah nama yang digunakan untuk menuntut kewarganegaraan, entnisitas dan kebebasan Islam di Rakhine. Banyak dari mereka sangat sensitif saat menggunakan nama Rohingya, karena dengan menggunakan nama tersebut dapat pula berarti mengakui tuntutan mereka, sebagaimana dijelaskan salah seorang teman dari Rakhine. Begitulah pengertian umumnya. "Orang – orang Benggali datang dari Bangladesh dengan populasi yang besar harus dibawa kembali ke tempat asal mereka dengan warna kulit yang sama,” merupakan tren saat ini yang saya lihat sangat mengganggu karena ini juga merupakan diskriminasi berdasarkan warna kulit.
Dalam sudut pandang saya, mereka cenderung menolak pihak yang belum pernah mereka temui di luar sana, dan pastinya Rohingya. Banyak dari mereka belum pernah bertemu Rohingya dan memilih untuk tetap berada di dalam grup internal yang mengatasnamakan “kami adalah etnik Myanmar”, “kami mendukung Rakhine”. Sekali nilai yang mereka proklamirkan ditentang, yaitu cara militer mengakui siapa yang harus menjadi etnis Myanmar, mnejadi dasar mereka bergejolak dan menganggap penentang sebagai pengkhianat. Hal ini terjadi karena negara ini dalam isolasi selama 6 dekade dan tidak pernah belajar tentang politik, ilmu sosial atau antropologi. Myanmar itu liar, muda dan rapuh dalam hal kedewasaan.
Saya sangat yakin bahwa para aktivis muda secara politik sadar bahwa pemuda dan beberapa netizen bersama – sama berdiri untuk mempengaruhi pemerintahan sipil, dan kami sangat berhati – hati dalam memutuskan. Kami berbagi berita dari berbagai sudut dan mendiskusikannya. Kami berdiskusi tentang aspek politik yang mungkin digunakan oleh militer seperti dalam daerah etnik lainnya, ketika mereka ingin mengalahkan pasukan etnik. Pemuda yang tidak begitu sadar tentang politik mungkin akan terjebak dalam perangkap yang dipersiapkan oleh para nasionalis dan xenophobia ekstrim. Jumlahnya sangat besar. Saya berharap bahwa aktivis dan politikus muda bersama – sama menyuarakan apa yang menurut mereka benar dalam kemanusiaan dan aspek hak asasi manusia.
Menurut Anda, apakah orang – orang Myanmar mengerti alasan komunitas internasional memberikan tekanan terhadap pemerintahan Myanmar terkait dengan isu Rohingnya?
Saya pikir media internasional memiliki alasan yang berbeda mengapa mereka meliput berita Myanmar dengan alasan Rohingya. Saya benar – benar menghormati perhatian dan kecemasan mereka, mereka menunjukkan kesalahan dan menyoroti apa yang memperburuk keadaan untuk menunjukkan bahwa mereka ingin pemerintah Myanmar bertanggung jawab dan mau mendengarkan. Pada waktu yang sama, kami juga menyaksikan media tersebut menampilkan gambar yang salah dan konten yang tidak diteliti terlebih dahulu, dan lain lain. Jadi orang – orang Myanmar secara umum berpikir bahwa media tersebut menyerang Daw Aung San Suu Kyi yang mereka cintai. Seperti telah saya sebutkan, mereka tidak mengerti bagaimana media – media besar seperti BBC meliput dan mengapa hanya untuk orang – orang Rohingya yang menurut mereka adalah orang asing. Mereka ingin media menyeimbangkan berita bahwa penduduk Rakhine juga menderita karena konflik tersebut. Menurut sudut pandang saya, orang – orang Myanmar meminta apa yang mereka inginkan dan media internasional melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan berfokus pada pihak yang paling menderita dan mudah diserang.