Erdogan, Mencari Kekuatan Besar Melalui Referendum Turki
Editor
Sita Planasari A
Minggu, 16 April 2017 09:59 WIB
TEMPO.CO, Istanbul- Presiden Recep Tayyib Erdogan menjadi sorotan tajam menjelang referendum Turki, baik oleh pendukung maupun musuh politiknya.
Ia bersikap keras kepada para musuh politik maupun negara-negara Barat seperti Jerman, Belanda dan Prancis terkait dengan referendum konstitusi di Turki yang digelar pada Ahad, 16 April 2017.
Baca: Referendum Konstitusi Turki, Mengapa Diaspora Dukung Erdogan?
Erdogan pernah menuding Jerman menerapkan cara Nazi ketika melarang pejabatnya bertemu dengan warga Turki di Jerman. Kehadiran utusan Erdogan itu sangat penting untuk memberikan penjelasan mengenai referendum, tapi pejabat ini dilarang masuk ke Jerman.
Belanda juga kena sambar oleh ucapan Erdogan lantaran pesawat yang ditumpangi Menteri Luar Negeri Turki, Mevlut Cavusoglu, dilarang mendarat di Rotterdam pada Sabtu, 12 Maret 2017.
"Kehadiran Cavusoglu hanya akan mengancam ketertiban masyarakat," kata Perdana Menteri Belanda, Mark Rutte.
Kedatangan Cavusoglu ke Rotterdam sedianya menghadiri aksi jalan kaki bersama warga Turki di kota itu dan berpidato di depan mereka tentang referendum yang diadakan pada 16 April 2017.
Baca: Referendum Turki, 55 Juta Orang Menuju Bilik Suara Termasuk Napi
Sikap keras Erdogan baik menjelang referendum konstitusi maupun selama memimpin Turki itu bisa dilihat dari latar belakangnya.
Erdogan dilahirkan di Istanbul tapi dibesarkan di Rize, pesisir Laut Hitam 63 tahun silam. Ia selanjutnya menghabiskan masa kecil hingga remaja di kampung halaman.
Hampir semua pendidikan dasarnya ditempuh tak jauh dari tempat kelahirannya. Dia menyelesaikan pendidikan agama di sekolah dasar Kasmpaa Piyale pada 1965 dan belajar agama di Sekolah Imam Hatip.
Putra seorang penjaga laut ini selanjutnya kuliah di Universitas Marmara fakultas ekonomi dan administrasi pada 1981.
Sejak belia, Erdogan kerap memimpin komunitasnya hingga dia terjun ke dunia politik.
Tapi jauh sebelum terjun ke dunia politik, Erdogan adalah seorang pemain sepak bola sejak 1969-1982 dan bergabung dengan kesebelasan semi profesional Kasmpaa Spor Kulübü, sebuah kesebelasan Distrik Beyolu, Istanbul.
Sentuhan politik pertama Erdogan ketika dia terpilih menjadi Ketua Perkumpulan Mahasiswa Nasional Turki (MSP) pada 1976. Setelah itu dia menjadi konsultan dan menjabat direktur utama perusahaan swasta pada 1980 hingga 1982 ketika partai politik diberangus oleh pemerintah.
Pada 1983, Erdogan bergabung dengan Partai Kesejahteraan yang berdiri pada 1983 dan terpilih menjadi Kepala Distrik Beyoglu pada 1984.
Karir politik berikutnya, dia dipilih menjadi Kepala Provinsial Istanbul pada 1985 juga diusung oleh Partai Kesejahteraan.
Sejak itu nama Erdogan kian populer di masyarakat karena memberikan kesempatan kepada kaum perempuan dan pemuda terlibat dalam dunia politik praktis.
Pada pemilu lokal yang digelar 27 Maret 1994, Erdogan terpilih menjadi Wali Kota Istanbul. Selama menjabat sebagai wali kota, dia berhadapan dengan masalah kronis Istanbul, salah satu kota metropolitan terpenting di dunia.
Di antara problem Kota Istanbul, ketika itu adalah masalah air, sampah, korupsi, keruwetan lalu lintas dan transportasi kota.
Semua masalah perkotaan dijawab Erdogan bersama tim manajemen dan keuangannya dengan membangun pipa baru ratusan kilometer guna menggelontor air bersih untuk masyarakat.
Untuk mengatasi masalah sampah, Erdogan membangun fasilitas pengolah sampah modern. Erdogan juga membangun 50 jembatan baru, terowongan dan jalan bebas hambatan untuk mengatasi kemacetan lalu lintas.
Erdogan juga dikenal anti-korupsi ketika memimpin Kota Istanbul dan membayar hampir seluruh utang Kotamadya Istanbul di masa pemerintahan sebelumnya sebesar Rp 27 triliun.
Kendati dianggap moncer, bukan berarti Erdogan tak pernah terantuk masalah. Dia sempat dijebloskan ke penjara pada 12 Desember 1997 lantaran pidatonya di ruang publik di Siirt.
Dalam pidatonya, Erdogan membacakan puisi dari sebuah buku yang telah direkomendasikan oleh Kementerian Pendidikan Nasional dan diterbitkan oleh penerbit negara.
Setelah mendekam dalam penjara empat bulan, tamatlah karirnya sebagai Wali Kota Istanbul.
Setelah keluar dari bui, dia mendirikan Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) pada 14 Agustus 2001 bersama teman-temannya yang memiliki tujuan sama yakni menuntut proses demokrasi lebih luas di Turki.
Setahun kemudian pada 2002, dia terpilih menjadi anggota parlemen namun dibatalkan oleh pengadilan.
Kepemimpinan Erdogan makin populer di kalangan warga Turki. Pada 15 Maret 2003, Erdogan terpilih sebagai Perdana Menteri Turki.
Berkat kepopulerannya, ia kembali terpilih menjadi Presiden Turki pada 10 Agustus 2014.
Kini Erdogan dengan kekuatan politiknya ingin mengubah sistem politik dari parlementer ke presidensial melalui rerefendum Turki, Ahad 16 April 2017.
Berhasilkah dia, kita lihat bersama hasilnya.
BERBAGAI SUMBER | CHOIRUL AMINUDDIN