Warga tidur di depan sebuah gereja di Manila, Filipina, 18 Oktober 2016. Banyak warga Filipina memilih tidur di luar rumah sejak gencarnya operasi narkoba Duterte. REUTERS/Damir Sagolj
TEMPO.CO, Manila - Presiden Filipina Rodrigo Duterte bersumpah akan membunuh lebih banyak lagi orang yang dicurigai sebagai pengedar narkoba setelah dikecam aktivis hak asasi manusia internasional dan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Bahkan presiden 71 tahun tersebut berencana mengikutsertakan militer dalam perangnya terhadap narkoba yang telah menewaskan lebih dari 7.000 nyawa.
Duterte mengatakan segera mengeluarkan perintah eksekutif untuk tentara agar berada di garis depan melawan peredaran obat-obatan terlarang, yang ia gambarkan sebagai ancaman keamanan nasional.
"Saya akan melibatkan Angkatan Bersenjata Filipina (AFP) dan membuat masalah narkoba sebagai ancaman keamanan negara," ucap Duterte, Kamis, 2 Februari 2017, seperti dilansir Sydney Morning Herald.
Rencana Duterte melibatkan tentara untuk memerangi narkoba mendapatkan kecaman baru dari penggiat HAM internasional yang berbasis di Amerika Serikat, Human Rights Watch.
"Menggunakan personel militer hanya akan mempertinggi risiko kekerasan yang tidak perlu atau berlebihan dan taktik militer yang tidak pantas," tutur Human Rights Watch, seperti dilansir Sydney Morning Herald pada 3 Februari 2017.
Penggunaan tentara menghadapi warga sipil telah mengingatkan kembali pada masa kelam beberapa dekade lalu. Pada medio 1970-an, diktator korup Filipina, Ferdinand Marcos, memberlakukan darurat militer yang menewaskan puluhan ribu rakyat sipil tak berdosa, sehingga memicu pemberontakan yang memaksa dia, keluarganya, dan kroninya melarikan diri ke tempat pengasingan pada 1986.
Begini Konflik Antara Duterte dan Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr
31 Januari 2024
Begini Konflik Antara Duterte dan Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr
Marcos bekerja sama dengan putri Duterte, Sara, untuk menjadikannya wakil presiden dalam kemenangan Pemilu 2022. Namun, keretakan dalam aliansi keluarga tersebut muncul ketika petahana telah menyimpang dari kebijakan anti-narkoba dan kebijakan luar negeri pendahulunya.