Detik-detik meledaknya bom di depan gerai Starbucks kawasan Sarinah, Jakarta, 14 Januari 2016. (Istimewa)
TEMPO.CO, Ko Olina, Hawaii- Menteri Pertahanan Singapura Ng Eng Hen mengingatkan, kelompok ekstrimis semakin tumbuh berkembang di Asia Tenggara setiap tahun. Kelompok ekstrimis yang mengancam kawasan Asia Tenggara juga semakin terorganisasi dan fokus pada tujuannya.
"Setiap tahun kita temukan peningkatan situasi dan ancaman dari kelompok ekstrimis ini," kata Eng Hen saat mengikuti pertemuan menteri-menteri pertahanan Asia Tenggara dengan Menteri Pertahanan Amerika Serikat Ash Carter di Hawaii, Jumat, 30 September 2016.
Menurut Eng Hen, lebih dari 1.000 warga di kawasan Asia Tenggara bergabung dengan kelompok ekstrimis Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) yang mendeklarasikan diri sebagai khalifah di Irak dan Suriah.
Indikasi lain meningkatnya ancaman kelompok ekstrimis di kawasan Asia Tenggara, menurut Eng Hen, adalah pernyataan aparat keamanan pada Juni lalu bahwa milisi di Asia Tenggara yang mengklaim pendukung ISIS telah memilih sosok yang paling dicari di Filipina sebagai pemimpin faksi itu di kawasan ini.
Kemudian, klaim ISIS terhadap ledakan yang terjadi di pusat kota Jakarta (Bom di kawasan Sarinah, Jalan M.H. Thamrin, Jakarta Pusat) pada Januari lalu yang menewaskan delapan orang termasuk empat pelaku peledakan.
Kelompok ISIS di Suriah memerintahkan jaringannya di Batam, Indonesia, untuk merancang ledakan di hotel-hotel di kawasan Marina Bay, Singapura. Aparat Indonesia menangkap enam tersangka pelaku yang berencana meluncurkan roket untuk menghancurkan hotel-hotel di Marina Bay. Keenam pelakunya diduga kelompok teroris KGR@Katibah GR, jaringan ISIS, yang dipimpin Gigih Rahmat Dewa, 31 tahun.
Pejabat pertahanan Amerika yakin ratusan orang warga Asia Tenggara telah kembali ke negaranya masing-masing setelah bergabung dengan ISIS di Irak dan Suriah. Mereka pulang setelah kekuatan ISIS dihancurkan di Irak dan Suriah.
Para milisi ISIS asal Asia Tenggara itu diduga kuat akan merancang berbagai teror di negara mereka masing-masing.
"Mereka memutuskan pulang, beberapa membangun kekuatan kembali, beberapa melakukan pelatihan dan jaringan masih tetap ada," kata Eng Hen, mengutip Channel News Asia, 2 Oktober 2016.