Indonesia Jaring Lima Negara untuk Perangi Terorisme
Editor
Maria Rita Hasugian
Selasa, 9 Agustus 2016 15:36 WIB
TEMPO.CO, Yogyakarta - Kementerian Luar Negeri Indonesia kembali membentuk kerja sama multilateral yang beranggotakan sejumlah negara baru untuk memerangi tumbuhnya paham radikal yang kerap berujung pada tindak terorisme.
Forum baru yang diresmikan pada September 2015 di New York, Amerika Serikat, itu beranggotakan lima negara, yakni Meksiko, Indonesia, Korea Selatan, Turki, dan Australia.
Forum yang kemudian disingkat MiKsTa itu akan menggelar kongres pertamanya pada Oktober 2016 di Indonesia, dan Yogyakarta dipilih sebagai tuan rumah. Dalam kongres tersebut akan dibahas berbagai isu lintas agama, kepercayaan, dan budaya terkait perlawanan untuk meredam paham radikalisme.
"Semua negara anggota bersepakat memilih Yogyakarta karena masih dianggap sebagai representasi tumbuhnya kebudayaan yang plural," ujar Duta Besar Esti Andayani, yang juga Direktur Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik Kementerian Luar Negeri, di kompleks Kepatihan, Selasa, 9 Agustus 2016.
Esti menuturkan, yang bakal membedakan forum ini dibanding forum dialog yang sudah dirintis sebelumnya oleh Indonesia adalah negara peserta dan pihak yang akan dilibatkan. Indonesia untuk forum dialog lintas agama dan budaya tersebut sejauh ini baru memiliki hubungan bilateral. Adapun untuk tingkat multilateral hanya memiliki kerja sama dengan ASEM atau Asia dan Eropa.
"Untuk kali ini, Meksiko, Turki, dan Korea Selatan menjadi pihak yang sangat baru dalam jejak kerja sama soal dialog lintas agama dan budaya dengan Indonesia," ujar Esti.
Selain itu, perwakilan negara yang hadir tidak hanya melibatkan tokoh agama dan kepercayaan, tapi juga menekankan peran pemuda, tokoh masyarakat, dan pegiat media.
"Forum ini bersepakat, perang terhadap terorisme dan radikalisme tetap pada pendekatan dialog, soft diplomacy. Jadi kami melibatkan perwakilan akar rumput, organisasi pemuda, yang mendukung gerakan ini," ujarnya.
Adapun tujuan yang ingin dicapai dari pertemuan multilateral ini, ujar Esti, adalah memberi pemahaman kepada semua perwakilan negara bahwa kultur masing-masing wilayah sudah hidup sejak lama. Dan agama sebagai bagian kultur itu seharusnya menjadi penyejuk.
Esti menuturkan, dalam pertemuan pertama di Yogyakarta nanti, perwakilan negara akan diajak berkeliling ke sejumlah obyek religi yang mencerminkan akulturasi. Seperti Gereja Ganjuran di Kabupaten Bantul, pondok-pondok pesantren di Yogyakarta, juga Candi Borobudur dan Prambanan sebagai simbol rukunnya kehidupan antaragama di masa silam.
Aktivis dari forum Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika Daerah Istimewa Yogyakarta Agnes Dwi Rusjati mencatat sejumlah kasus intoleransi atas nama agama dan kepercayaan masih terjadi di Yogyakarta. Misalnya, sepanjang tahun 2015 terjadi belasan kasus intoleransi.
"Kasus yang marak seperti penolakan tempat ibadah, penutupan, hingga tidak dikeluarkannya rekomendasi pembangunan tempat ibadah karena tekanan sekelompok orang yang mengatasnamakan agama," ujar Agnes.
PRIBADI WICAKSONO