Peneliti di CSIS Beberkan Keunggulan Kamala Harris Jika Jadi Presiden AS
Reporter
Savero Aristia Wienanto
Editor
Suci Sekarwati
Senin, 4 November 2024 18:30 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti di Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Muhammad Waffa Kharisma membeberkan sejumlah dampak jika Kamala Harris menang melawan Donald Trump dalam Pilpres AS. Harris berpotensi membawa pengaruh positif jika menjadi presiden AS.
"Kalau saya boleh pilih, mungkin Harris," kata Waffa dalam wawancara dengan Tempo, Senin, 4 November 2024.
Waffa juga mengungkit kunjungan Kamala Harris ke Indonesia pada September 2023 saat dia menjabat sebagai wakil presiden AS. Kunjungan itu, jelas Waffa, memberikan sinyal ada ketertarikan Harris terhadap ASEAN, termasuk Indonesia.
"Mungkin dia tertarik ke ASEAN, ke hal-hal yang Indonesia lakukan. Harris juga lebih mau diajak diskusi dan mendengar pendapat," ujarnya.
Meski begitu, Waffa juga mengaku kepemimpinan Harris belum tentu menguntungkan Indonesia. Jika Harris memimpin AS, bisa jadi potensi Indonesia ditinggal, tidak diperhatikan atau menjadi lebih kecil.
Lebih lanjut, Waffa juga menilai bahwa Harris lebih bersikap lunak terhadap Cina daripada Trump mengingat kini Amerika Serikat memandang Cina sebagai rival utama mereka.
"Dia sepertinya akan lebih membuka dialog, menjaga persaingan sehat," tuturnya.
Tak sampai di situ, Waffa mengungkit kunjungan Penasihat Keamanan Nasional AS Jake Sullivan ke Cina pada Agustus 2024. Dia menilai, Sullivan bisa saja tak lagi ditugaskan untuk membangun jembatan komunikasi Amerika Serikat-Cina jika Trump menjadi presiden.
Harris merupakan politikus Partai Demokrat dan pengacara Amerika Serikat. Saat ini dia menjabat sebagai Wakil Presiden Amerika Serikat ke-49. Dia adalah perempuan dan orang Afrika-Amerika pertama yang memegang jabatan tersebut.
Bernama lengkap Kamala Devi Harris, ia lahir pada 20 Oktober 1964 di Oakland, California, Amerika Serikat. Dikutip dari Britannica, ayah Harris, orang Jamaika yang mengajar di Universitas Stanford. Sementara ibunya, putri seorang diplomat India dan bekerja sebagai peneliti kanker.
Harris lulusan ilmu politik dan ekonomi dari Howard University pada 1986. Dia kemudian melanjutkan pendidikannya dalam bidang hukum di Hastings College of Law, University of California pada 1989. Setelah menyelesaikan pendidikannya, Harris bergabung dengan Kantor Kejaksaan Distrik Alameda County pada 1990 hingga 1998.
Selama periode ini, dia mengambil fokus pada penyelesaian kasus pelecehan seksual terhadap anak, kekerasan geng, dan perdagangan narkoba, dan pelecehan seksual. Dia kemudian menjabat sebagai pengacara pengelola di Kantor Kejaksaan Distrik San Francisco. Lalu menjadi kepala Divisi Anak-Anak dan Keluarga untuk Kantor Kejaksaan Kota San Francisco.
Pada 2010 Harris terpilih sebagai Jaksa Agung California. Harris menjadi perempuan pertama dan perempuan Afrika-Amerika pertama yang memegang jabatan itu. Dengan posisinya, dia membela Undang-Undang Perawatan Terjangkau di pengadilan, menegakkan hukum lingkungan, dan menjadi pemimpin nasional dalam gerakan kesetaraan pernikahan. Pada 2016, Harris terpilih sebagai Senator AS, menjadi wanita keturunan India pertama di Senat dan wanita berkulit hitam kedua.
Pilihan editor: Media Junta Sebut Cina Janjikan Bantuan untuk Pemilu Myanmar
Ikuti berita terkini dari Tempo.co di Google News, klik di sini