Kisah Guru Israa Mengajar di antara Reruntuhan Bangunan Gaza
Editor
Ida Rosdalina
Jumat, 6 September 2024 03:07 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA), Philippe Lazzarini, mengatakan bahwa lebih dari 70 persen sekolah-sekolah milik UNRWA di Gaza telah hancur atau rusak, dan sebagian besar dari sekolah-sekolah tersebut telah menjadi tempat penampungan yang penuh sesak oleh ratusan ribu keluarga pengungsi dan tidak dapat digunakan untuk pendidikan.
Ia juga mengatakan dalam postingan di X bahwa "lebih dari 600.000 anak di sana mengalami trauma yang mendalam, tinggal di reruntuhan. Mereka terus kehilangan kesempatan untuk belajar dan bersekolah. Setengah dari mereka dulunya bersekolah di sekolah-sekolah UNRWA. Semakin lama anak-anak tidak bersekolah, semakin tinggi risiko generasi yang hilang, memicu kebencian dan ekstremisme," demikian laporan Kantor Berita dan Informasi Palestina (WAFA).
"Di Gaza, lebih dari 70 persen sekolah kami hancur atau rusak. Sebagian besar sekolah kami sekarang menjadi tempat penampungan yang penuh sesak dengan ratusan ribu keluarga pengungsi. Mereka tidak dapat digunakan untuk belajar," tambahnya.
Lazzarini mencemaskan masa depan anak-anak Gaza tanpa gencatan senjata. Mereka, menurutnya, bisa menjadi mangsa eksploitasi, termasuk pekerja anak dan perekrutan ke dalam kelompok-kelompok bersenjata.
“Kita sudah terlalu sering melihat hal ini dalam konflik di seluruh dunia, jangan sampai terulang di Gaza. Gencatan senjata adalah kemenangan bagi semua: gencatan senjata akan memberikan kelonggaran bagi warga sipil, pembebasan para sandera, dan aliran pasokan dasar yang sangat dibutuhkan, termasuk untuk pembelajaran," katanya.
Kekhawatiran Lazzarani ini dijawab Gaza Israa Abu Mustafa. Ketika sekolah-sekolah runtuh, ia bersemangat untuk mengajar. Guru Israa Abu Mustafa menolak untuk membiarkan kematian dan kehancuran menghalangi anak-anak yang mengalami trauma untuk mendapatkan pendidikan.
Setelah bangunan empat lantai yang menjadi tempat tinggalnya dihancurkan oleh serangan udara Israel, Abu Mustafa mendirikan ruang kelas di atas reruntuhan di bawah tenda.
Sekolah dadakan ini merupakan salah satu dari sedikit pilihan yang tersisa bagi anak-anak di lingkungannya.
"Selama perang, kami harus mengisi galon air dan mengumpulkan ranting-ranting untuk kayu bakar. Kemudian Bu Israa menemukan kami dan membawa kami ke sini untuk terus belajar," kata Hala Abu Mustafa, 10 tahun.
Proyek ini dimulai dengan 35 siswa dan jumlah itu secara bertahap meningkat menjadi 70, mulai dari pra-sekolah hingga siswa kelas enam yang berusia 11-12 tahun.
Sejak perang dimulai pada 7 Oktober, sekolah-sekolah telah dibom atau dijadikan tempat penampungan bagi para pengungsi, sehingga sekitar 625.000 anak usia sekolah di Gaza tidak dapat mengikuti pelajaran di kelas.
<!--more-->
Tingkat Melek Huruf yang Tinggi
Menurut Kementerian Pendidikan Palestina, sedikitnya 10.490 siswa sekolah dan mahasiswa telah terbunuh dalam serangan Israel. Lebih dari 500 guru sekolah dan dosen juga telah terbunuh. Konflik ini meletus ketika kelompok militan Palestina Hamas menyerang Israel selatan, menewaskan 1.200 orang dan menyandera lebih dari 250 orang, menurut perhitungan Israel.
Israel menanggapi dengan kampanye militer di Gaza, menewaskan lebih dari 40.861 warga Palestina, menurut otoritas kesehatan Gaza.
Israel mengatakan bahwa mereka berusaha keras untuk menghindari jatuhnya korban sipil dan menuduh Hamas menggunakan perisai manusia dan beroperasi dari sekolah-sekolah, sebuah tuduhan yang dibantah oleh kelompok itu.
Pelajaran yang diberikan Abu Mustafa lebih dari sekadar kurikulum. Kelas-kelasnya memberikan rasa struktur dan rutinitas di tengah kekacauan.
Tenda ini jauh dari ruang kelas tradisional di mana anak-anak pernah bermimpi untuk belajar di luar negeri atau menjadi dokter dan insinyur yang membantu masyarakat Gaza, yang miskin dan menderita pengangguran yang tinggi jauh sebelum perang meletus.
"Kami membutuhkan kursi dan meja agar anak-anak dapat belajar dengan baik, bukannya dipaksa menulis di atas tanah," ujar guru berusia 29 tahun itu.
Dengan sumber daya yang terbatas, Abu Mustafa mengajar pelajaran dasar termasuk pelajaran agama, berusaha agar murid-muridnya tetap belajar meskipun dibombardir tanpa henti.
Gaza dan Tepi Barat yang diduduki Israel memiliki tingkat melek huruf yang tinggi secara internasional, dan sistem pendidikan yang kurang memadai merupakan sumber harapan dan kebanggaan yang langka di kalangan warga Palestina.
"Apa yang menjadi harapan anak-anak? Mereka memiliki hak untuk belajar di lingkungan yang aman, mereka memiliki hak untuk bermain di tempat yang aman, untuk tidak merasa takut," kata Abu Mustafa.
REUTERS | WAFA
Pilihan Editor: Keluarga Sandera Desak Amerika Serikat buat Kesepakatan Sepihak dengan Hamas