Situasi Prancis Lebih Tenang setelah Pemakaman Remaja Korban Penembakan
Editor
Ida Rosdalina
Minggu, 2 Juli 2023 10:25 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Kerusuhan di seluruh Prancis tampaknya tidak terlalu intens, Sabtu, 1 Juli 2023, karena puluhan ribu polisi telah dikerahkan di kota-kota di seluruh negeri setelah pemakaman seorang remaja keturunan Afrika Utara, yang penembakannya oleh polisi memicu kerusuhan nasional.
Presiden Emmanuel Macron menunda kunjungan kenegaraan ke Jerman yang seharusnya dimulai Minggu untuk menangani krisis terburuk bagi kepemimpinannya sejak protes "Rompi Kuning" melumpuhkan sebagian besar Prancis pada akhir 2018.
Sekitar 45 ribu polisi berada di jalan-jalan dengan unit-unit elite khusus, kenderaan lapis baja dan helikopter-helikopter dikerahkan untuk memperkuat tiga kota terbesarnya, Paris, Lyon dan Marseille.
Pada Minggu pagi pukul 01.45 waktu setempat, situasinya lebih tenang daripada empat malam sebelumnya, meskipun ada beberapa ketegangan di Paris tengah dan bentrokan sporadis di kota-kota Mediterania Marseille, Nice, dan kota timur Strasbourg.
Titik nyala terbesar adalah di Marseille di mana polisi menembakkan gas air mata dan bertempur di jalanan dengan pemuda di sekitar pusat kota hingga larut malam.
Di Paris, polisi meningkatkan keamanan di jalan Champs Elysees yang terkenal di kota itu setelah seruan di media sosial untuk berkumpul di sana. Jalanan, yang biasanya dipadati turis, dijejeri pasukan keamanan yang melakukan pemeriksaan di tempat. Fasad toko ditutup untuk mencegah potensi kerusakan dan penjarahan.
Kementerian dalam negeri mengatakan 1.311 orang telah ditangkap pada Jumat malam, dibandingkan dengan 875 orang pada malam sebelumnya, meskipun menggambarkan kekerasan sebagai "intensitas lebih rendah". Polisi mengatakan hampir 200 orang telah ditangkap secara nasional pada Sabtu.
Otoritas lokal di seluruh negeri mengumumkan larangan demonstrasi, memerintahkan angkutan umum untuk berhenti beroperasi pada malam hari dan beberapa memberlakukan jam malam.
Kerusuhan tersebut, sebuah pukulan terhadap citra global Prancis hanya setahun dari penyelenggaraan Olimpiade, akan menambah tekanan politik pada Macron.
Dia telah menghadapi kemarahan berbulan-bulan dan kadang-kadang demonstrasi kekerasan di seluruh negeri setelah mendorong perombakan undang-undang pensiun.
Penundaan kunjungan kenegaraan ke Jerman merupakan kali kedua tahun ini ia harus membatalkan acara tingkat tinggi karena situasi domestik di Prancis. Pada Maret, dia membatalkan rencana kunjungan kenegaraan Raja Charles.
<!--more-->
Pemakaman
Nahel, 17 tahun dari orang tua Aljazair dan Maroko, ditembak oleh seorang petugas polisi saat berhenti lalu lintas pada Selasa di Nanterre, pinggiran Paris.
Untuk pemakaman, beberapa ratus orang berbaris memasuki masjid agung Nanterre. Relawan dengan rompi kuning berjaga-jaga, sementara beberapa puluh orang menyaksikan dari seberang jalan.
Beberapa pelayat, menyilangkan tangan, mengatakan "Allahu Akbar", saat mereka memenuhi bulevar itu untuk salat jenazah.
Marie, 60, mengatakan dia telah tinggal di Nanterre selama 50 tahun dan selalu ada masalah dengan polisi.
"Ini benar-benar harus dihentikan. Pemerintah benar-benar terputus dari realitas kita," katanya.
Penembakan remaja tersebut, yang terekam dalam video, telah memicu kembali keluhan lama dari komunitas perkotaan yang miskin dan bercampur ras tentang kekerasan dan rasisme polisi.
Nahel diketahui polisi karena sebelumnya tidak mematuhi perintah penghentian lalu lintas dan secara ilegal mengendarai mobil sewaan, kata jaksa penuntut Nanterre, Kamis.
Macron membantah ada rasisme sistemik di lembaga penegak hukum Prancis.
Ada juga kemarahan yang lebih luas di pinggiran kota termiskin di negara itu, di mana ketidaksetaraan dan kejahatan merajalela dan para pemimpin Prancis telah gagal selama beberapa dekade untuk mengatasi apa yang oleh beberapa politisi disebut sebagai "apartheid geografis, sosial dan etnis."
REUTERS
Pilihan Editor: Paus Fransiskus Tunjuk Uskup Penulis Buku Seni Ciuman Menjadi Pejabat Doktrin