Kisah Wartawan Tempo di Afghanistan, Mudahnya Punya AK-47 Saat Taliban Tak Ada
Reporter
Tempo.co
Editor
Istman Musaharun Pramadiba
Selasa, 24 Agustus 2021 08:00 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Bagi wartawan Tempo Qaris Tajudin, Afghanistan pasca kejatuhan Taliban di tahun 2001 ibarat kawasan tak bertuan. Belum adanya pemerintahan definitif membuat senapan menjadi "alat komunikasi" sehari-hari di sana. Pembunuhan dan perempokan pun kerap terjadi karena hal-hal sepele. Salah satunya terjadi pada toko sepatu di sebuah kota kecil yang berbatasan dengan Mandar, Pakistan.
Pada suatu hari, di toko tersebut, enam orang pelayan toko ambruk dalam keadaan perut bolong ditembak. Darah mereka terus mengucur, menggenangi lantai toko sepatu. Sang penembak, dengan santai, tidak berkomentar apapun usai melepaskan serangan. Ia hanya mencangklongkan senapan AK-47 ke pundaknya dan melenggang pergi.
Penembakan itu terjadi karena perkara sepele: ukuran sepatu yang salah. Sang penembak, yang merupakan tentara Aliansi Utara, tidak puas dengan sepatu yang ia dapat dan memintanya ditukar. Pemilik toko ogah menukarkan sepatu yang sudah dipakai jalan. Tidak suka atas perlakuan yang diterima, senapan AK-47 sang penembak menyalak. Enam orang ambruk seketika. Tak salah menyebut Afghanistan di tahun 2001, saat Taliban jatuh, bak Wild West di film koboi.
"Saat itu, senjata dipegang oleh siapa saja dan bisa diarahkan kepada siapapun pun. Kelompok Aliansi Utara yang memenangi peperangan atas Taliban bisa bertempur satu sama lain setiap waktu," ujar Qaris Tajudin dalam kisahnya soal perjalanan ke Afghanistan.
<!--more-->
Memperoleh AK-47 dan RPG bukan perkara sulit di Afghanistan saat itu. Siapapun bisa membelinya. Di Jalalabad, sebuah toko dibuka khusus untuk berdagang dan mereparasi AK-47. Alhasil, ketika Qaris menelusuri jalanan kota Kabul, sangat mudah menemukan setiap lelaki memanggul senapan AK-47 plus mortir jenis RPG. Padahal, tidak semua dari mereka adalah tentara atau memiliki pengalaman bertempur.
Penasaran, Qaris sempat iseng bertanya terhadap salah satu guru di Afghanistan apakah dirinya memiliki AK-47. Dengan santai, sang guru menjawab dirinya punya. Lucunya, ia memperlakukan AK-47 seperti duit, menyimpannya di balik kasur atau bantal yang ia pakai tidur.
"Ya, saya punya. Saya simpan di bawah batal yang saya pakai. Sekadar buat jaga-jaga" ujar guru bernama Daud itu. Daud menyimpan Kalashnikov tua, sisa senjata tentara Soviet yang dulu memerangi Afganistan.
Tahu banyak orang memiliki senapan AK-47 plus pertempuran bisa terjadi sewaktu-waktu, Qaris ekstra hati-hati dalam memilih tempat menginap selama meliput di Afghanistan. Ia sempat nyaris mati ditembak AK-47 dalam perjalanan menuju Kabul dan ogah mengalaminya lagi.
Salah satu pemandu Qaris di Afghanistan, Habibullah, menyarankannya untuk tidak tinggal di hotel yang dijadikan pos militer Aliansi Utara. Menurut Habibullah, itu bendera merah. Para panglima perang (warlord) di sana bisa sewaktu-waktu memulai pertempuran di sana, syukur-syukur kalau hanya random checking.
"Keadaan tak aman. Ayo kita menyingkir dari sini," ujar Habibullah saat menemani Qaris di Asadabad, Afghanistan. Qaris menurut, menumpang mobil pick up dengan pengawalan delapan orang yang, lagi-lagi, mencangklong senapan AK-47.
Benar saja, ketika Qaris tiba di Kabul, desingan AK-47 dan RPG terdengar saban malam. Penduduk berkata kepada Qaris, itu bukan suara pertempuran Aliansi Utara dengan Taliban, tetapi antar kelompok Aliansi Utara. Qaris bahkan sempat diperingatkan untuk tidak memasuki Kabul jika ingin selamat.
"Sebaiknya jangan karena terlalu banyak orang yang mati di jalan," kata Mardan. Saat Taliban masih berkuasa, dari tahun 1996-2001, pria muda itu rajin ke Kabul untuk mencuci foto. Saat itu, tempat cuci foto hanya ada di Kabul.
<!--more-->
Qaris beruntung dirinya tak menjadi korban selama meliput di Afghanistan. Beberapa kompatriotnya, sesama wartawan, tewas di sana. Pada 20 November 2001, dua wartawan Reuters, satu wartawan Italia, dan satu wartawan Spanyol tewas diberondong peluru. Ketika itu, mereka bersama sekitar 12 wartawan dicegat di Serobi, kota kecil sekitar 50 kilometer sebelum Kabul.
Rekomendasi warlord, minimal koneksi, adalah cara paling aman untuk bertahan hidup di wild west Afghanistan. Semakin luas wilayah kekuasaan seorang panglima, rekomendasinya semakin baik. Jika tidak, katebelece itu hanya berlaku di satu kota tapi menjadi kertas sampah di kota lain.
Qaris sudah merasakan sendiri manfaat koneksi ke warlord. Ketika mujahidin menodongkan AK-47 kepadanya dalam perjalanan ke Kabul, koneksi pemandunya dengan warlord setempat menciutkan niat sang mujahidin untuk menembaknya. Jika tidak, mungkin laporan soal Taliban dari Afghanistan tak akan selesai.
Sekarang, ketika Taliban kembali menguasai Afghanistan setelah dua dekade, AK-47 bukan senjata yang sering terlihat lagi. Pemandangan AK-47 digantikan senapan M-16. Nah, apakah akan ada desingan senapan tiap malam, itu yang diharapkan tidak terjadi. Taliban janji menghadirkan Afghanistan yang aman, tapi banyak yang meragukan.
Baca juga: Kisah Wartawan Tempo di Afghanistan, Dari Nyaris Ditembak Hingga Mau Dinikahkan
ISTMAN MP