Militer Myanmar Pakai Aset Bisnis untuk Pelanggaran HAM Rohingya
Reporter
Eka Yudha Saputra
Editor
Eka Yudha Saputra
Senin, 5 Agustus 2019 17:15 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Tim pencari fakta PBB terhadap kekerasan Rohingya menemukan aset bisnis asing dan dalam negeri menyumbang dana kepada militer Myanmar untuk melakukan pelanggaran HAM.
Misi pencari fakta Dewan HAM PBB yang dipimpin oleh Marzuki Darusman menemukan fakta bahwa militer Myanmar menggunakan perusahaan binaan, perusahaan asing, dan kontrak penjualan senjata untuk mendukung operasi kekerasan terhadap etnis minoritas Rohingya.
"Tentara nasional Myanmar jelas menunjukkan bahwa sumber-sumber tambahan pendapatan dari bisnis digunakan untuk melakukan pelanggaran HAM serius," kata Marzuki Darusman, mantan jaksa agung Indonesia dan advokat HAM internasional, yang memimpin tim pencari fakta PBB.
"Ada hubungan langsung antara bisnis dengan pelanggaran HAM," tambah Marzuki kepada Tempo, 5 Agustus 2019 di Jakarta.
Penelitian selama delapan bulan menemukan pelanggaran luas Tatmadaw, Tentara Nasional Myanmar. Marzuki menyebutnya "bentuk kapitalisme militer" pada Tatmadaw.
Penegakan pengawasan militer, menurut Marzuki, harus di bawah pengawasan sipil. Yang menjadi pertanyaan adalah sejauh mana pemerintahan sipil bisa mengawasi militer.
"Itu masalah konstitusional," ujarnya, menambahkan pihaknya tidak mau berspekulasi soal ini.
Marzuki mengatakan beberapa negara Eropa dan Asia terlibat dalam temuan laporan ini, menolak menyebut negara-negara secara rinci.
Tapi Marzuki memastikan dalam temuan tim, bahwa ada fakta ada sumber daya lain di luar APBN Myanmar yang menyokong militer melakukan operasi pembersihan dan pelanggaran HAM serius.
"Pimpinan Tatmadaw itu menjadi pimpinan dua korporasi utama: Myanmar Economic Holding Limited (MEHL) dan Myanmar Economics Corporation (MEC). Itu diketuai oleh panglima tertinggi Tatmadaw dan wakil panglima," kata Marzuki."Itu dikontrol oleh tentara Myanmar dan keluarga-keluarganya."
MEHL dan MEC memiliki sedikitnya 120 bisnis dari berbagai sektor, mulai dari konstruksi, farmasi, manufaktur, asuransi, pariwisata dan perbankan.
Kedua perusahaan bersama 26 anak perusahaannya memegang izin tambang batu mulia di Provinsi Kachin dan Shan.
Pelanggaran HAM juga dilaporkan terjadi di perusahaan ini, termasuk pekerja paksa dan kekerasan seksual.
Laporan setebal 111 halaman diteliti oleh tim pencari fakta pimpinan Marzuki Darusaman bersama rekan peneliti Christopher Sidoti, advokat HAM internasional dan mantan Komisioner HAM Australia, serta Radhila Coomaraswamy, advokat dan Pelapor Khusus PBB untuk Kekerasan Terhadap Perempuan, dan Delegasi Khusus PBB untuk Anak-anak dan Konflik Bersenjata.
Laporan merinci sedikitnya 45 perusahaan dan organisasi 10 juta dolar AS lebih, atau Rp 142,5 mliar, ke militer Myanmar selama permulaan operasi pembersihan di Rakhine pada 2017.
Ketika ditanya respons pemerintah Myanmar terkait temuan, Christopher Sidoti menyampaikan pemerintah menolak berbicara terkait temuan ini.
"Dewan Keamanan PBB sejauh ini belum mengeluarkan resolusi satu pun terkait pelanggaran HAM di Myanmar," kata Christopher Sidoti.
Laporan akhir misi pencari fakta pelanggaran HAM terhadap Rohingya oleh militer Myanmar akan dipaparkan ke Dewan HAM PBB di Jenewa, Swiss, pada September 2019.