Pembantaian Desa di Papua Nugini Diduga Perselisihan Antarsuku
Reporter
Non Koresponden
Editor
Eka Yudha Saputra
Jumat, 12 Juli 2019 18:16 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Pasukan keamanan Papua Nugini sedang menyelidiki pembantaian massal di salah satu desa terpencil, yang menewaskan belasan orang termasuk perempuan dan anak-anak.
Menurut laporan Reuters, 12 Juli 2019, belasan orang tewas dalam serangan di desa dataran tinggi bernama Karida, 630 kilometer di sebelah barat laut ibu kota, Port Moresby, pada Senin kemarin. Serangan diduga akibat bentrok antarsuku.
Baca juga: Kerusuhan Meluas, Papua Nugini Darurat 9 Bulan
Laporan media Australia 7news.com.au, mencatat 16 anak-anak termasuk perempuan dan perempuan hamil meninggal. ABC melaporkan 16 korban jiwa. Sementara Hawaii Public Radio melaporkan serangan subuh memakan 25 korban jiwa, 15 korban adalah anak-anak dan perempuan, di mana dua di antaranya hamil dan korban termuda berusia satu tahun.
"Kami mengubur mayat-mayat itu di bawah pengawasan polisi dan pengawalan pertahanan," kata Pills Pimua Kolo, seorang pekerja kesehatan di Karida.
"Saya berada di desa ketika serangan itu terjadi. Saya bersembunyi di semak-semak setelah mendengar suara tembakan. Ketika saya kembali, ditemukan mayat-mayat yang dimutilasi," kata Philip Pimua, petugas yang bertanggung jawab atas pusat kesehatan setempat, dikutip dari Hawaii Public Radio.
Perdana Menteri James Marape mengatakan ini adalah hari tersedih selama hidupnya dan memperingatkan pembunuh akan mengejar mereka.
Marape, yang mewakili distrik di parlemen, mengatakan bahwa dia telah meminta lebih banyak polisi untuk Hela selama bertahun-tahun, dan bertanya bagaimana pasukan 60 perwira dapat mengawasi 400.000 orang di satu provinsi.
Baca juga: Perdana Menteri Papua Nugini Peter O'Neill Mundur
Pada Kamis, lebih banyak tentara dikirim dari provinsi tetangga, menurut Komandan Polisi setempat Teddy Augwi.
"Mereka sedang dalam perjalanan ke sini sekarang saat saya berbicara," katanya kepada televisi EMTV. "Saya ingin mengerahkan pasukan yang ada yang saya miliki dengan tim pertahanan ke Karida."
Foto menunjukkan para korban dibungkus dengan kelambu dan diletakkan di tepi jalan di atas daun nipah.
Mereka dimakamkan di kuburan yang disegel dengan beton dan besi pada hari Rabu. Tayangan televisi menunjukkan warga desa di sekitar kuburan berdiam diri, dengan pasukan bersenjata lengkap berpatroli di dekatnya.
Pemicu pembunuhan itu tidak jelas, tetapi serangan itu merupakan gejolak terbaru dari konflik yang berlangsung selama bertahun-tahun.
"Beberapa masalah ini sudah mengakar," ujar Menteri Kepolisian Bryan Kramer mengatakan kepada wartawan di Port Moresby pada hari Kamis sebelum ia melakukan perjalanan ke wilayah tersebut.
Baca juga: Guncangan Politik di Papua Nugini, PM Baru Dipilih Kamis
Ahmad Hallak, kepala misi untuk Komite Internasional Palang Merah (ICRC) di Papua Nugini, mengatakan kepada ABC bahwa penggunaan senjata api telah menyebabkan lebih banyak korban dalam perselisihan suku.
"Kekerasan kesukuan adalah fenomena sejarah; itu sudah berlangsung sejak jaman dahulu. Namun, di masa lalu, menggunakan busur dan panah [dan] tombak, pertempuran yang jauh lebih terbatas akan terjadi.
"Dengan abanya senjata modern, ini tidak lagi menjadi masalah, dan kami melihat konsekuensi kemanusiaan yang sangat mirip dengan Irak, Suriah, Afganistan."
Motif di balik pembunuhan masih belum diketahui, meskipun para pejabat menyebutnya sebagai tindakan pembalasan untuk sengketa suku baru-baru ini yang menewaskan tujuh orang.
"Kerabat beberapa orang yang meninggal mengambil hukum ke tangan mereka sendiri dan mencoba menyerang musuh sesuka hati. Dan itu telah meningkat menjadi pembantaian perempuan dan anak-anak yang tidak bersalah."
Baca juga: Pemerintah PNG Didesak Akhiri Kebijakan Non-Intervensi Isu Papua
Hallak mengatakan penargetan perempuan dan anak-anak juga semakin umum dalam konflik kesukuan, di mana pertempuran dapat tanpa pandang bulu.
Dia mengatakan masyarakat Papua Nugini yang terkena dampak kekerasan ingin menghentikannya dan inisiatif pemerintah lokal membutuhkan dukungan untuk mengatasi akar penyebabnya, seperti pengangguran, penyalahgunaan narkoba dan kekerasan terkait pemilu.