Dianggap Tak Menguntungkan, Iran Keluar dari Perjanjian Nuklir
Reporter
Choirul Aminuddin
Editor
Choirul Aminuddin
Jumat, 23 Februari 2018 10:43 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Iran kemungkinan akan keluar dari kesepakatan nuklir 2015 jika tidak mendapatkan keuntungan ekonomi dan perbankan menjauhi Republik Islam. Keterangan tersebut disampaikan Wakil Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araqchi di Gedung Chatham, London, Kamis, 22 Februari 2018.
"Atmosfir ketidakpastian di bawah tekanan Presiden Amerika Serikat Donald Trump membuat Iran mempertimbangkan kesepakatan nuklir yang pernah diteken," kata Araqchi, seperti dikutip Al Jazeera, Jumat, 23 Februari 2018.
Baca: Kesepakatan Nuklir Iran Akhirnya Tercapai
Iran serta negara superkuat, terdiri atas Inggris, Cina, Prancis, Jerman, Rusia dan Amerika Serikat, melakukan kesepakatan mengenai energi nuklir di Wina, Austria, pada 2015. Dalam pertemuan tersebut, Iran bersepakat menghentikan program nuklirnya dengan imbalan sanksi ekonomi dicabut. Selain sanksi ekonomi Iran dicabut, Teheran diizinkan melakukan perdagangan minyak dan gas ke pasar internasional.
"Aset Iran sebesar US$ 100 miliar atau sekitar Rp 1.367 triliun yang selama ini dibekukan segera cair," lapor Al Jazeera.
Meskipun demikian, tulis Reuters, sejumlah bank besar tidak bersedia berhubungan dengan Iran karena takut dengan sanksi yang diberikan Amerika Serikat. Sikap perbankan tersebut membuat perdagangan dan investasi Iran terhambat.
Baca: Iran Akan Terapkan Kesepakatan Nuklir Jenewa
Sebelumnya pada 12 Januari 2018, Presiden Amerika Serikat Donald Trump memperingatkan negara-negara Eropa agar menghindari Iran terkait dengan perjanjian nuklir. Trump juga menuturkan akan menjatuhkan kembali sanksi ekonomi kepada Iran.