TEMPO.CO, Jakarta - Adakah aktivitas keberagamaan di Korea Utara? Kantor berita Reuters menyebut, gereja memang berdiri di negara itu--ada empat gereja di Pyongyang--namun lebih digunakan sebagai simbol bahwa negara ini mengakui kebebasan beragama.
Kegiatan keagamaan, tulis media ini, diawasi secara ketat di negara ini. Sementara pemerintah merenovasi Gereja Chilgol yang berdiri kokoh di pinggir Pyongyang, negara juga mengawasi setiap gerakan kaum agamawan. Setidaknya, sudah puluhan pendeta dan misionaris dibui dengan alasan mengganggu stabilitas negara. (Baca: Mantan Napi Ungkap Kengerian Penjara Korea Utara)
Pada bulan Mei, turis asal Amerika Serikat, Jeffrey Fowle, ditahan karena meninggalkan Alkitab di toilet sebuah lokasi wisata yang dikunjunginya. Misionaris Kenneth Bae menjalani 15 tahun hukuman kerja paksa atas tuduhan mencoba untuk menjatuhkan pemerintah.
Misionaris lain, Kim Jeong-wook, asal Korea Selatan, dijatuhi hukuman seumur hidup dengan kerja paksa pada bulan Juni setelah pengadilan Korea Utara menyatakan ia bersalah melakukan spionase dan mengelola gereja bawah tanah.
Banyak warga Korut menyatakan gereja hanya pajangan bagi warga asing dan wisatawan. Banyak orang asing diundang untuk duduk di bangku barisan depan, kata mereka, tetapi dilarang berbaur dengan jemaat lokal. (Baca: 9 Fakta Tentang Pemimpin Korea Utara Kim Jong-un)
Konstitusi Korea Utara menjamin kebebasan beragama asalkan tidak merusak negara. Karenanya, di luar tempat ibadah yang dikendalikan oleh negara, tidak ada kegiatan keagamaan yang terbuka diperbolehkan.
"Menjadi orang Kristen di Korea Utara sangat berbahaya, dan banyak orang Kristen yang hidupnya berakhir di kamp-kamp penjara atau, dalam beberapa kasus, dieksekusi," kata Benedict Rogers dari Christian Solidarity Worldwide, yang mengkampanyekan kebebasan beragama. "Rezim menuntut kesetiaan mutlak dan pengabdian dan melihat agama sebagai perusaknya."
Sebanyak 99,7 persen pembelot dari Korea Utara mengatakan dalam survei akhir tahun lalu bahwa tidak ada kebebasan beragama di negeri ini. Hanya 4,2 persen dari mereka mengatakan mereka telah melihat sebuah Alkitab ketika mereka tinggal di sana.
Agama pernah dianggap sebagai bagian dari kebijakan penyatuan Utara-Selatan, dengan strategi mencoba untuk menyelaraskan dengan para pemimpin agama di Selatan. Namun keberhasilan dari kelompok agama Korea Selatan dalam membantu untuk menggulingkan kediktatoran militer menyebabkan Pyongyang lebih hati-hati. "Bagian dari ketakutan Korea Utara terhadap Kristen berasal dari suksesnya Kim Dae-jung dan Kardinal Stephen Kim dalam mengakhiri kediktatoran militer di Korea Selatan," kata David Alton, Ketua All-Party Parliamentary Group Inggris.
Padahal dilihat dari sejarah, pemimpin Korea Utara berasal dari keluarga agamis. Presiden pendiri Korea Utara Kim Il-sung adalah cucu dari seorang pendeta Protestan dan ibunya, Kang Ban-sok, adalah seorang Kristen yang taat yang terlibat dalam penerjemahan Alkitab ke bahasa setempat.
Namun ambisi politik mengubahnya. "Mereka berusaha untuk menggantikan agama dengan ideologi pemujaan dinasti," kata Alton.
Karenanya, tulis Reuters, dapat dimengerti ketika mereka menolak undangan Otoritas Gereja Katolik Korea Selatan bagi perwakilan Gereja Katolik Korut yang diayomi negara untuk menghadiri misa kepausan bersamaan kunjungan Paus Fransiskus ke Seoul bulan ini.
REUTERS | INDAH P.
Terpopuler:
Ogah Lawan ISIS, Amerika Kirim Tentara ke Irak
Presiden Sibuk Beli Senjata, Rakyatnya Kelaparan
Filipina Tangkap Jenderal Penculik Aktivis
Biar Terhindar dari Ebola, Ikuti Saran Ini