TEMPO.CO, Putra Jaya -Ribuan pekerja ilegal memadati Kantor Imigrasi di Putrajaya, Malaysia belasan jam sebelum program re-hiring atau Program Penggajian dan Penempatan Semula Pekerja Asing berakhir, Jumat, 30 Juni 2017.
Salah satunya Sapar Majianto, 41 tahun, tenaga kerja asal Desa Maron, Kecamatan Kademangan, Kabupaten Blitar, itu telah menunggu sejak pukul 9 pagi. Dia bersama dua rekannya bersama-sama ingin mengajukan permohonan E-Kad atau Enforcement Card di menit-menit terakhir.
Baca juga:
Percepat Penanganan Kasus TKI, Kemenlu Siapkan Diplomat Muda
Kartu yang menjadi bukti keikutsertaan program re-hiring tersebut akan menjadi acuan untuk mengeluarkan paspor dan mendapatkan izin kerja resmi di Malaysia.
“Saya sebetulnya sudah sejak setahun lalu, tepatnya April 2016 mengajukan program re-hiring,” kata Sapar. Saat itu dia tertipu agen sehingga tidak dapatkan E-Kad. “Banyak TKI yang ingin professional, tapi kendalanya banyak tertipu saat mendapat agen,” kata dia. Agen yang dimaksud adalah vendor atau perusahaan yang mengelola E-Kad.
Ada tiga ditunjuk Kementrian Dalam Negeri Malaysia Bukti Megah Sdn Bhd, International Marketing and Net Resources Sdn Bhd (Iman) dan MyEG. Namun banyak TKI yang tertipu calo.
Menurut Sapar, selain tertipu calo, banyak pula TKI yang memiliki majikan yang enggan mendaftarkan pekerjanya lantaran biaya yang mahal.
Baca pula:
Buntut Pungutan, Pemerintah Perketat Permintaan TKI di Malaysia
Saat dihubungi Tempo, Jumat malam, Sapar mengaku telah memberikan berkas yang diperlukan sejak siang. Dia diminta agen untuk menunggu hingga pukul 8 malam. Dia mengungkapkan ada pula seorang ibu asal Medan yang telah menunggu sejak Kamis, namun belum mendapatkan E-Kad.
“Adakah pegawai KBRI yang melihat masalah ini semua, Mbak?” tanya Sapar kepada Tempo. “Semua media di Jakarta sedang sibuk meliput Presiden Obama ya Mbak, jadi tidak menulis kita di sini?”
Aparat imigrasi Malaysia bakal menggelar operasi besar-besaran untuk menangkap para imigran ilegal dan majikannya mulai Jumat tengah malam, menyusul berakhirnya tenggat program re-hiring untuk mendapatkan E-Kad.
Program yang digelar sejak 15 Februari lalu itu memungkinkan para majikan mendaftarkan para pekerja ilegal mereka dan terhindar dari denda pemerintah Malaysia.
Hingga pukul 8 pagi Jumat, sebanyak 155.680 imigran ilegal yang bekerja pada 26.957 majikan telah mengajukan permohonan pembuatan E-card. Dari jumlah tersebut, sebanyak 140.746 telah selesai. Jumlah tersebut hanya 23 persen dari 600 ribu kartu yang ditargetkan Departemen Imigrasi Malaysia.
Direktur Jenderal Imigrasi Malaysia Mustafar Ali mengaku kecewa atas sikap para majikan lantaran pembuatan kartu telah diumumkan sejak 15 Februari lalu. “Saya tekankan berulang kali bahwa tenggat bagi pendaftaran adalah tengah malam hari ini, dan tenggat itu tidak akan diperpanjang lagi,” kata Mustafar dalam konferensi pers seperti dilaporkan Malay Mail Online, Jumat.
Wakil Duta Besar RI untuk Malaysia Andreano Erwin menyatakan, hingga 31 Mei lalu, 2.000-an tenaga kerja asal Indonesia telah mendapat E-card dan melanjutkan prosesnya ke Kedutaan Besar Malaysia di Kuala Lumpur. Jumlah itu tidak termasuk TKI yang mendaftar lewat perwakilan. Ada pula yang terpaksa ditolak lantaran ternyata E-Kad-nya palsu.
Menurut Andreano, jumlahnya mencapai sekitar satu persen. “Program re-hiring berbeda dengan amnesti. Yang dibidik adalah para majikan yang memiliki pekerja ilegal. Kalau tertangkap denda kepada majikan lebih besar,” kata Andreano kepada Tempo, kemarin. Adapun imigran ilegal yang tertangkap akan diproses sesuai ketentuan hukum yang berlaku selama ini di Malaysia.
Wahyu Susilo, Direktur Eksekutif Migrant Care, lembaga advokasi buruh migran mengkhawatirkan nasib ratusan buruh migran yang gagal mengikuti program dan terancam menjadi sasaran razia otoritas Malaysia. “Berdasarkan pengalaman, razia buruh migran tak berdokumen di Malaysia dalam dua dekade terakhir ini, razia yang biasa disebut Opnyah biasanya disertai dengan tindakan represif dan koersif yang melibatkan aparat imigrasi, polisi diraja Malaysia dan milisi paramiliter RELA sehingga sering terjadi tindakan pelanggaran hak asasi manusia,” kata Wahyu lewat siaran persnya, Jumat.
Berdasarkan hasil monitoring Migrant Care beberapa tahun terakhir, razia terhadap buruh migrant sering didasarkan pada tendensi rasisme dan xenophobia, diskriminatif dan bahkan sering terjadi perampasan kebebasan individu dan perampasan hak milik.
MALAY MAIL ONLINE | THE STAR | THE SUN DAILY | NATALIA SANTI