TEMPO.CO, Brussels- Pengadilan di Belgia menjatuhkan hukuman penjara 15 bulan kepada delapan putri Uni Emirat Arab atau UEA atas tuduhan perdagangan manusia dan mengeksploitasi pelayannya. Selain mendapat hukuman, Putri Sheika al-Nahyan bersama tujuh anak perempuannya harus membayar denda masing-masing 165.000 euro atau setara Rp 2,4 miliar.
Seperti yang dilansir Middle East Monitor pada 25 Juni 2017, para terdakwa tidak hadir di pengadilan pada Jumat pekan lalu. Namun pengacaranya, Stephen Monod, mengatakan beberapa korban membesar-besarkan tingkat perlakuan yang mereka terima dan perusahaan yang mengatur kontrak kerja para pelayan seharusnya bertanggung jawab secara hukum.
Baca: Perdagangan 5 Perempuan ke Malaysia, Begini Modusnya
Meski demikian, Monod mengaku puas sistem peradilan Belgia telah menilai secara tepat kasus yang selama hampir 10 tahun ini banyak menimbulkan kesalahpahaman.
Monod belum dapat memastikan bahwa kliennya akan membayar denda dan mengajukan banding.
Kasus perdagangan manusia yang melilit delapan putri UEA ini berawal pada 2008. Ketika itu, delapan anggota keluarga Al-Nahyan yang berkuasa di Abu Dhabi menyewa sebuah lantai selama beberapa bulan di Conrad Hotel di Brussels. Mereka memperlakukan 23 pelayannya dengan tidak hormat.
Seorang pelayan berhasil melarikan diri dari hotel lalu pergi ke polisi dan menceritakan tentang penganiayaan tersebut.
Baca: Pramugari Kreatif Selamatkan Korban Perdagangan Manusia
Seorang saksi mengatakan para pelayan dari berbagai negara di Afrika dipaksa bersiaga 24 jam sehari selama seminggu untuk memenuhi semua tuntutan para putri.
Kebanyakan pelayan wanita dipaksa makan sisa makanan dan tidur hanya beberapa jam di lantai di luar kamar tidur para putri.
Beberapa pelayan yang tidak memiliki izin tinggal atau kerja, dibayar sangat sedikit. Sedangkan pelayan lainnya tidak menerima pembayaran apa pun.
Pengakuan pelayan itu sesuai dengan hasil investigasi polisi Belgia. Kedelapan putri UEA itu dituduh mencederai Undang-Undang Tenaga Kerja dan Perdagangan Manusia.
BBC|MIDDLE EAST MONITOR|YON DEMA