TEMPO.CO, Washington – Pemerintah Korea Utara kembali meluncurkan sebuah rudal balistik dari Pyongyang melewati daerah utara Jepang, Hokkaido, menuju Samudera Pasifik.
Ini merupakan ancaman serius setelah negara komunis itu menyatakan akan menenggelamkan Jepang dan membumihanguskan Amerika Serikat karena terkena sanksi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada awal pekan ini.
Baca: Korea Utara Ancam Bumi Hanguskan AS dan Tenggelamkan Jepang
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Rex Tillerson, meminta Cina dan Rusia menunjukkan sikap tegas terhadap perilaku rezim Kim Jong-un dari Korea Utara ini.
“Cina dan Rusia harus menunjukkan bahwa mereka tidak bisa mentoleransi peluncuran roket yang sembrono ini dengan mengambil tindakan secara langsung,” kata Rex.
Baca: PBB Hukum Korea Utara, Trump: Itu Belum Seberapa
Rudal ini terbang sejauh 3700 kilometer dengan ketinggian 770 kilometer selama sekitar 19 menit. Jarak ini cukup jauh dan bisa mencapai wilayah perbatasan AS di kawasan Pasifik seperti Guam.
Australia sebagai sekutu kuat Amerika Serikat di kawasan Asia Pasifik mengecam peluncuran rudal itu.
“Ini merupakan tindakan berbahaya, sembrono, dan kriminal lain yang dilakukan oleh rezim Korea Utara. Ini mengancam stabilitas negara serta dunia dan kami mengecam ini,” kata Malcolm Turnbull, Perdana Menteri Australia, dalam sebuah wawancara dengan Sky News, Jumat 15 September 2017.
Malcolm juga menyebutkan peluncuran rudal ini merupakan bentuk keputusaan Korea Utara atas peningkatan sanksi yang dijatuhkan oleh Dewan Keamanan PBB Senin, 11 September lalu.
Menurutnya, peristiwa ini justru menunjukkan sanksi Dewan Keamanan PBB berdampak kepada rezim Korea Utara.
PBB akan bersidang untuk membahas aksi Korea Utara terbaru ini, Sabtu dini hari, 16 September, waktu Indonesia.
Di Asia, nilai tukar dolar terus melemah paska peluncuran rudal, yang dilakukan oleh Korea Utara hari ini. Hal ini memperkuat nilai tukar Yen dan Franc Swiss.
Amerika Serikat dan Korea Selatan secara teknis masih berperang melawan Korea Utara, mengingat perang tahun 1950 – 1953 berakhir dengan gencatan senjata bukan dengan perjanjian perdamaian.
Sebelumnya, Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, memastikan Korea Utara tidak akan diijinkan untuk mengancam AS dan negara sekutunya dengan senjata nuklir. Dia juga meminta Cina melakukan sesuatu yang lebih besar untuk mengendalikan negara tetangganya tersebut.
KISTIN SEPTIYANI