TEMPO.CO, Jakarta - Guru besar Jurusan Ilmu Politik Universitas Pertahanan, Salim Said, mengatakan turunnya warga Turki saat kudeta terjadi belum tentu mendukung Presiden Recep Tayyip Erdogan. Menurut dia, hal ini merupakan aksi “empire strike back”.
Istilah tersebut, kata Salim, merujuk pada masyarakat Turki yang sudah semakin cerdas dan beradab. Orang Islam di Turki yang tertekan lama, berkembang menjadi masyarakat makmur dan menuntut haknya. "Tidak mau lagi diatur tentara," katanya dalam diskusi Kudeta Militer Turki di Pempekita, Tebet, Jakarta Selatan, Sabtu, 16 Juli 2016.
Sebab, dukungan terhadap kudeta dianggap masyarakat Turki mengancam demokrasi. "Kalau berhasil, hak warga negara dalam alam demokrasi bisa terpotong," katanya.
Aksi warga Turki yang turun ke jalan tersebut bisa jadi karena mereka tidak mau lagi militer berkuasa. Hal ini juga bukan lantaran suka terhadap pribadi Erdogan. Sebab, dia juga kontroversial. "Bukan soal cinta kepada Erdogan," ucapnya
Militer Turki mencoba mengkudeta pemerintahan Erdogan pada Jumat malam. Mereka memblokade jembatan dan mengambil alih stasiun televisi. Erdogan pun meminta warganya turun ke jalan untuk menunjukkan dukungan bagi pemerintah dan menolak kudeta.
Kudeta tersebut tidak berlangsung lama. Perdana Menteri Turki Binali Yildrim mengklaim Sabtu dinihari keadaan sudah berada di bawah kontrol pemerintah.
Pengarang buku Militer dan Politik di Turki, Alfan Alfian, mengatakan kudeta kali ini seperti uji coba dari segelintir kalangan militer. Aksi tentara yang turun ke jalan ingin mengetahui respons masyarakat. "Apakah mendapat dukungan atau tidak," tuturnya.
Uji coba ini penting karena pada 2007 militer Turki efektif mampu menggerakkan massa sekuler untuk menolak pencalonan Abdullah Gul sebagai presiden. Saat itu, Gul dicalonkan dari Partai Keadilan dan Pembangunan (AK Parti).
AHMAD FAIZ