TEMPO.CO, Florida - Seorang wanita di Amerika Serikat bernama Tamara Fields menggugat Twitter setelah suaminya tewas di Yordania. Fields mengatakan suaminya, Lloyd, tewas saat kelompok militan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) menyerang pusat pelatihan polisi di Amman. Ia menggugat Twitter karena menganggap perusahaan media sosial itu telah membantu propaganda ISIS.
Seperti dilansir Guardian pada 14 Januari 2016, Fields menuduh perusahaan media sosial tersebut memberikan suara untuk ISIS. "Tanpa Twitter, ledakan pertumbuhan ISIS selama beberapa tahun terakhir menjadi kelompok teroris paling ditakuti di dunia tidak akan mungkin terjadi," ucap dia dalam gugatannya tersebut.
Tahun lalu, kata Fields, Twitter diminta lebih dari seribu kali menghapus akun dan informasi lain mengenai ISIS, tapi hanya 42 persen dari permintaan tersebut disetujui.
Wanita yang berasal dari Florida tersebut juga mengatakan dalam gugatannya bahwa Twitter telah memungkinkan ISIS menggunakan jaringan tersebut untuk menyebarkan propaganda, mengumpulkan uang, dan merekrut orang.
Dalam gugatannya, Fields mengatakan Twitter, yang berkantor pusat di San Francisco, California, hingga saat ini telah memberi ISIS kebebasan serta kemampuan mempertahankan akun resmi Twitter-nya. Fields ingin Twitter membayar ganti rugi karena melanggar Undang-Undang Federal Anti-Terorisme dengan menyediakan dukungan material kepada teroris.
Menanggapi gugatan itu, Twitter membantah. "Ancaman kekerasan dan promosi terorisme tidak layak memiliki tempat di Twitter dan, seperti jaringan sosial lain, aturan kami sangat jelas."
GUARDIAN | YON DEMA