Perkenalannya dengan para exiles ketika dia ke Amsterdam. "'Pada suatu hari, di Amsterdam itu saya bertemu dengan orang-orang Indonesia, lalu dikenalkan juga pada mbah-mbah yang ternyata adalah exiles. Mulai dari situ saya tertarik untuk mendengarkan kisah hidup mereka dan membuat seri dokumenter," ujar Ida.
Ida mengaku kaget sekali mendengar penuturan para exiles.Sebelumnya ia tidak pernah dengar tentang pengalaman mereka.
"Yang pertama saya kunjungi adalah Bung Sarmadji, pendiri Perhimpunan Dokumentasi Indonesia (PERDOI) di Belanda. Selain di Belanda, saya juga mengunjungi para eksil di Swedia, mereka mempunyai Paguyuban untuk berkumpul, sekadar beraktivitas guyub bersama seperti berkebun, masak-masak, ziarah bersama, tapi juga update tentang Tanah Air. Mereka ini sangat cinta Indonesia," kata Ida.
Kemudian ia ke Prancis dan Jerman. Di dua negara ini Ida mengunjungi exiles, namun banyak juga yang tidak bersedia dipotret karena berbagai hal, terutama trauma dan ketakutan.
Ia teringat pada pelajaran sejarah di sekolah tentang G30S PKI dan film tentang peristiwa itu yang disutradarai Arifin C. Noer. "Dulu wajib kita tonton setiap tanggal 30 September, beserta kisah horor dalam pelajaran sejarah. Bahwa komunis(me) adalah yang paling jahat di muka bumi, termasuk Gerwani yang mencongkel mata dan menyilet wajah para jendral, menari seronok, tidak bermoral dan sebagainya," kata Ida dengan bersemangat.
Setiba di Belanda, Ida mulai mendengar dan membaca, datang ke seminar tentang penelitian ilmiah mengenai tragedi 1965. Hasilnya, menurutnya, sungguh beda dengan propaganda Orba di sekolahnya maupun cerita dalam film. Di Belanda pula ia menonton film "The Act of Killing" dan dapat berbincang dengan sutradaranya yang juga sangat cinta Indonesia. "Saya merasa dikelabui seumur hidup, dicuci otak. Marah dan sedih," ujar Ida.