TEMPO.CO, Kiev - Demonstran di Kiev, ibu kota Ukraina, merobohkan patung utama Lenin di kota itu pada Minggu, 8 Desemnber 2013. Patung tersebut kemudian di hancurkan menjadi berkeping-keping. Peristiwa ini terjadi dalam aksi demonstrasi besar-besar memprotes keputusan Presiden Viktor F. Yanukovich, yang menolak menandatangi kesepakatan perdagangan bebas dengan Uni Eropa.
Ratusan ribu warga Ukraina turun ke jalan-jalan di Kiev untuk ikut berdemonstrasi. Mula-mula mereka sekadar mendengarkan orasi dan musik. Namun, belakangan mulai membentuk barisan menuju pusat perkantoran. Membawa bendera Ukraina, biru dan kuning, serta bendera Uni Eropa, mereka lantas berbondong-bondong berkumpul di Independence Square. Tenda-tenda banyak bermunculan di bundaran itu. Para demonstran juga menduduki City Hall dan bangunan-bangunan milik pemerintah lain di sekitar tempat itu.
Pada 21 November 2013, Presiden Yanukovich menolak menandatangani perjanjian perdangangan dan politik dengan Uni Eropa. Padahal banyak warga Ukraina berharap kerja sama dengan Uni Eropa akan membantu memejukan perekonomian mereka dan menekan tingkat korupsi di negara itu.
“Mundur! Mundur!” teriak para demonstran meminta Presiden Yahukovich dan pemerintah pimpinan Perdana Menteri Mykola Azarov mundur. Tanpa kehadiran polisi, para demonstran di Bessarabia Square lantas menggunakan kabel dan engkol untuk merobohkan patung Lenin. “Masyarakat sudah menunggu kesempatan ini sejak lama,” kata Leon Belokur, salah seorang demonstran. “Sekarang kesempatan itu akhirnya datang.” Dia menunjukkan sebuh pecahan patung yang disimpan di kantong jaketnya. “Ini sepotong pecahan tangan Lenin,” katanya.
Di banyak kota-kota kecil di Ukraina, patung-patung Lenin telah dirobohkan. Bagi mereka, komunisme Soviet telah membuat negara berpenduduk 46 juta orang itu kelaparan. Namun, patung Lenin di Kiev tetap tegak bediri hingga hari Minggu lalu.
Saat ini Ukraina membutuhkan setidaknya US$ 18 miliar untuk mendorong perekonomian negara itu. Buntunya pembicaraan kerja sama dengan Uni Eropa berarti satu-satunya harapan negara itu kini tinggal Rusia. Masalahnya, membuat perjanjian kerja sama dengan Kremlin saat ini sepertinya akan kian menyulut kemarahan publik, yang justru berharap bisa lepas sepenuhnya dari genggaman Rusia melalui kerja sama dengan Uni Eropa.
THE NEW YORK TIMES | PHILIPUS PARERA