TEMPO.CO , Canberra: Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta Australia segera membebaskan 54 anak Indonesia yang ditahan atas tuntutan masuk secara ilegal ke negara itu. Menurut Yudhoyono, anak-anak itu merupakan korban praktek penyelundupan manusia.
“Saya menyambut kebijakan Australia membebaskan anak-anak nelayan di bawah umur yang juga korban dari penyelundupan manusia,” kata Yudhoyono saat konferensi pers bersama Perdana Menteri Australia Julia Gillard di Darwin kemarin.
Yudhoyono menjelaskan, ada 215 warga Indonesia yang ditahan di beberapa penjara di Australia karena dijerat dengan dakwaan membantu penyelundupan manusia ke negeri itu. Atas fakta itu, Yudhoyono menyambut kerja sama kedua negara dalam memerangi penyelundupan manusia dan perdagangan manusia. “Indonesia juga korban dari perdagangan manusia dan penyelundupan orang,” kata Yudhoyono.
Gillard mengucapkan terima kasih kepada Indonesia, yang berusaha membantu memerangi penyelundupan manusia. Namun Gillard tidak merespons permintaan Yudhoyono untuk membebaskan 54 anak-anak Indonesia dari tahanan Australia.
Baru-baru ini Pemerintah Federal Australia mengkaji kasus 28 warga Indonesia yang dituntut terlibat kasus penyelundupan manusia ke Australia. Dari hasil kajian itu, sebanyak 15 orang dibebaskan karena mempertimbangkan usia mereka. Kajian ini atas dorongan dan permintaan pemerintah Indonesia dan Komisi Hak Asasi Manusia Australia, menyusul perhatian publik yang luas atas penggunaan teknologi sinar-X untuk menentukan usia para tahanan.
Dari Markas Besar Kepolisian Indonesia, polisi mengatakan pelaku penyelundupan manusia ke Australia telah ditangkap oleh Bareskrim pada 20 Juni 2012 di Apartemen Casablanca, Jakarta Timur. “Pelaku yang telah tertangkap yaitu Dawood Amiri bin Hasyim Amiri alias Irfan Hasyim, 19 tahun, warga negara Afganistan,\" kata Kepala Divisi Humas Mabes Polri Anang Iskandar kepada wartawan kemarin.
Saat menangkap, polisi menyita barang bukti berupa 6 telepon seluler milik pelaku, 84 telepon seluler lainnya, laptop, 2 telepon satelit, dan catatan keuangan.
Irfan merupakan pengorganisasi imigran yang berlayar menuju Australia dengan menggunakan kapal pada 23 Juni lalu. Kapal itu membawa sekitar 200 orang dan kemudian tenggelam di perairan Australia, menewaskan 90 orang.
Untuk membawa masuk para imigran gelap, Irfan menarik biaya kapal sekitar US$ 4.000 hingga US$ 8.000 per orang. Para imigran gelap ini diselundupkan melalui Pulau Christmas untuk masuk ke Australia. Pulau ini berada di barat laut perairan Australia tetapi lebih dekat dengan wilayah Indonesia.
Irfan sudah tinggal di Indonesia selama dua tahun dan menikah siri dengan perempuan Indonesia. Ia dijerat dengan pelanggaran Undang-Undang tentang Imigrasi pasal 19 tentang izin tinggal dan pasal 20 tentang penyelundupan. Beberapa tahun terakhir gelombang pencari suaka ke Australia kebanyakan berasal dari Afganistan, Sri Lanka, dan Irak.
ABC NEWS | SYDNEY MORNING HERALD | SUNDARI | RETNO AYU | MARIA RITA
Berita lain:
Kamar Termurah di Hotel Ini Rp 12,46 juta
Reporter TV Suriah Membelot ke Pemberontak
Mugabe di Singapura Jalani Pemeriksaan Kesehatan
Assad Akui Tembak Jatuh Jet Turki dan Menyesal
Lakukan Promosi Ilegal, Pabrik Obat Glaxo Didenda