“Setelah lebih dari empat bulan dalam krisis pasca pemilihan, ditandai dengan begitu banyak manusia kehilangan nyawanya, akhirnya kita sekarang berada di era pengharapan baru,” kata Outtara dalam pernyataannya di radio dan televisi pada Senin tengah malam lalu.
Selain memerintahkan perlucutan senjata, Outtara juga menjanjikan pembentukan komisi kebenaran dan rekonsiliasi ala Afrika Selatan. Pemerintahan Outtara saat ini menghadapi ancaman perang saudara dan terbelahnya negara itu berdasarkan etnis dan agama.
Situasi tersebut terjadi setelah Gbagbo menolak hasil pemilihan umum pada November 2010 yang hanya memberinya 46 persen suara. Sehingga ia harus menyerahkan kursi kepresidenannya kepada Outtara. Namun, ternyata Gbagbo menolak hasil pemilihan tersebut dan melakukan perlawanan bersenjata.
Pasukan tentara Perancis turun tangan, hingga akhirnya pada Senin lalu Gbagbo ditangkap dari persembunyian di dalam bunker di kompleks rumahnya.
Namun para pendukung Gbagbo belum sepenuhnya percaya soal penangkapan itu.
Menurut Ouattara, Gbagbo, istrinya, dan pengawal-pengawalnya telah ditangkap dan segera dibawa ke pengadilan. Gbagbo dituding oleh kelompok pejuang hak asasi manusia telah melakukan tindakan kejam. Ratusan orang tewas selama empat bulan konflik berdarah terjadi antara pro Gbagbo dan pro Ouattara. Ribuan orang melarikan diri ke tempat-tempat aman setelah pecahnya kerusuhan di negara produsen coklat terbaik dunia itu.
AP I ALJAZEERA I MARIA RITA