TEMPO.CO, Jakarta - Elon Musk, orang terkaya di dunia sekaligus pemilik X dan CEO SpaceX dan Tesla, telah menjadi pendukung terbesar calon presiden AS Donald Trump. Elon Musk bahkan mengklaim bersedia mempertaruhkan nyawanya agar Donald Trump bisa kembali ke Gedung Putih.
"Meningkatkan risiko pembunuhan secara drastis, dan terlibat dalam politik, bukanlah hal yang ingin saya lakukan. Saya tidak ingin mati," kata Elon Musk di Pittsburgh pada bulan Oktober. "Namun, taruhannya sangat tinggi sehingga saya merasa tidak punya pilihan selain melakukannya".
Sebelum mendukung Donald Trump, taipan teknologi tersebut adalah penganut paham libertarianisme di Silicon Valley. Setelah Trump terpilih pada tahun 2016, para elit teknologi AS diundang ke Trump Towers untuk bertemu dengannya.
Elon Musk saat itu mengatakan bahwa ia merasa dapat meyakinkan dan mempengaruhi Donald Trump atas janji kampanyenya untuk mengungkap kemajuan pada isu-isu seperti imigrasi, menurut jurnalis teknologi Kara Swisher dalam bukunya "Burn Book".
Sebagai pendukung Donald Trump, Elon Musk telah mengucurkan dana raksasa. Dalam kampanye Donald Trump, Elon Musk menghabiskan hampir US$ 120 juta untuk mendanai para pendukung Trump.
"Musk yakin Trump akan menang dan yakin hal itu akan menghasilkan lebih banyak kontrak NASA untuk SpaceX, lebih banyak kontrak federal untuk Starlink, lebih banyak insentif untuk Tesla, perlindungan Pasal 230 untuk Twitter, dan peluang lain di seluruh portofolionya," ujar kapitalis ventura dan ahli strategi politik, Bradley Tusk dilansir dari Euronews.
Jika Kamala Harris yang menang sebagai presiden AS, maka Elon Musk akan menderita kerugian besar.
Pada Agustus lalu, Donald Trump mengatakan akan menunjuk Elon Musk sebagai menteri atau penasihatnya jika terpilih. Donald Trump menyebut Elon Musk adalah orang yang brilian.
Lenny Mendonca, mantan kepala penasihat ekonomi dan bisnis Gubernur California Gavin Newsom mengatakan dukungan Elon Musk terhadap Donald Trump tak semata urusan bisnis. “Menurut saya, ada sekelompok wirausahawan yang telah meraih sejumlah kesuksesan dalam bisnis dan keuangan, tetapi memiliki ego yang membuat mereka percaya bahwa mereka berpengetahuan luas dan memiliki gagasan tentang segala hal,” kata Mendonca.
“Jadi, hal itu cenderung memuaskan ego mereka agar merasa bahwa mereka tidak hanya bisa menjadi pengusaha sukses dan orang kaya, tetapi juga bisa memengaruhi hasil pemilu.”
Namun ada alasan lain mengapa orang kaya, terutama mereka yang memperoleh kekayaannya di bidang teknologi, begitu terlibat dalam politik. "Saya kira ada juga sekelompok, saya sebut saja mereka, kaum techno-libertarian yang tidak punya kepercayaan pada pemerintah dan merupakan bagian dari kelompok yang ingin membubarkan semuanya," kata Mendonca.
"Dan saya pikir Musk termasuk dalam kelompok itu, meskipun faktanya tidak satu pun dari bisnisnya yang sukses akan ada jika tidak ada dukungan pemerintah yang substansial," ujarnya menambahkan.
EURONEWS
Pilihan editor: Top 3 Dunia: Israel Hancurkan Sistem Rudal Iran hingga Tentara Israel Tewas di Gaza