TEMPO.CO, Jakarta - Akhir Agustus, tepatnya 30 Agustus merupakan peringatan peristiwa bersejarah berupa referendum Timor Timur oleh misi PBB UNAMET yang terjadi 25 tahun silam. Momentum yang terjadi pada 1999 menjadi penentu apakah wilayah tersebut akan tetap menjadi bagian dari Indonesia atau meraih kemerdekaannya sebagai negara yang terpisah.
Misi PBB yang dikenal sebagai United Nations Mission in East Timor (UNAMET) memainkan peran sentral dalam memfasilitasi referendum ini. Diketahui Timor Timur merupakan sebuah wilayah kecil yang terletak di antara Australia dan Indonesia, telah lama menjadi sumber konflik dan ketegangan.
Mengutip laman resmi publikasi Universitas Gadjah Mada, pada 1997, krisis moneter yang melanda Indonesia yang menyebabkan hambatan di berbagai bidang pembangunan seperti ekonomi, politik, sosial dan budaya. Hal ini menjadi penyebab terjadinya demonstrasi dari berbagai kalangan, khususnya di lingkungan kampus.
Desakan mahasiswa membuahkan reformasi pada awal 1998, ditandai dengan pergantian pemimpin, Presiden Soeharto diganti oleh Wakil Presiden B.J. Habibie. Namun, banyak tuntutan dari negara Eropa dan ASEAN supaya Indonesia terus melakukan reformasi dalam politik, termasuk membantu Provinsi yang ke-27 yaitu Timor Timur untuk bisa menentukan nasibnya sendiri.
PBB kemudian mendirikan UNAMET berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB tertanggal, 5 Mei 1999, No. 1246 untuk memastikan referendum yang adil dan bebas di Timor Timur.
Misi ini bertugas memantau dan mengawasi seluruh proses referendum, termasuk pengumpulan suara dan penghitungan hasil. UNAMET juga bekerja untuk memastikan keamanan selama proses referendum.
Referendum yang diadakan pada 30 Agustus 1999 memberikan dua pilihan kepada penduduk Timor Timur: untuk tetap menjadi bagian dari Indonesia atau merdeka.
Secara serentak jajak pendapat diadakan di seluruh Timor Leste maupun di luar Timor Leste. Hasilnya sangat menentukan, di mana perolehan suara dari kedua kubu itu masing-masing dari pro-kemerdekaan 78,50 persen dan pro- integrasi 21,50 persen.
Pengumuman hasil referendum yang secara telak dimenangkan pendukuing opsi kemerdekaan itu menimbulkan kerusuhan di Timor Timur. Kelompok milisi bersenjata yang didukung oleh kalangan TNI mengamuk dan membumihanguskan kota Dili dan tempat-tempat lain.
Sejarah mencatat sekitar 1.400 orang menjadi koban tewas dan menyebabkan 300.000 orang harus mengungsi ke Atambua. Hal tersebut pun menyebabkan kredibilitas Indonesia di mata internasional tercoreng, karena ketika itu Reüpublik Indonesia yang menjamin keamanan selama pelaksanaan referendum.
Dikutip dari publikasi Perpanjangan Misi Peace Building PBB di Timor Leste Periode 2002-2012, perpanjangan misi peace building PBB di Timor Leste sejak kemerdekaan Timor Leste tahun 2002 menimbulkan kecurigaan adanya kepentingan dari negara-negara (anggota PBB yang ikut serta dalam misi perdamaian PBB di Timor Leste) yang terlibat hal tersebut.
Untuk memulihkan kondisi di Timor Leste, PBB melakukan berbagai upaya dalam membentuk pemerintahan Timor Leste yang merupakan hal penting untuk dimiliki oleh sebuah negara.
Ketika negara Timor Leste resmi dideklarasikan sebagai negara merdeka dan berdaulat. Tokoh perjuangan, Xanana Gusmao, terpilih sebagai presiden pertama. Untuk menghormati peran B.J. Habibie dalam proses ini, pemerintah Timor Leste meresmikan Jembatan BJ Habibie dekat Dili pada 29 Agustus 2019.
Referendum Timor Timur menunjukkan komitmen terhadap demokrasi dan hak asasi manusia, serta bagaimana perubahan politik dapat menentukan nasib suatu bangsa.
HATTA MUARABAGJA | KAKAK INDRA PURNAMA | PUTRI SAFIRA PITALOKA
Pilihan editor: Kilas Balik Timor-timur Jadi Negara Timor Leste, Apa yang Terjadi Usai Referendum 2002?