TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Vietnam To Lam, yang telah mengambil alih tugas kepala Partai Komunis yang telah meninggal, Nguyen Phu Trong, adalah seorang operator terampil di belakang layar yang telah lama terlibat dalam keamanan publik yang dipandang mampu mengkonsolidasikan kekuasaan lebih lanjut.
Seperti halnya Cina, Vietnam diperintah oleh partai komunis tetapi, tidak seperti negara tetangganya, Vietnam telah terlibat dalam pengambilan keputusan yang lebih kolektif dengan para pemimpin yang tunduk pada banyak pemeriksaan.
Namun, jika Lam, 67 tahun, terus mengenakan topi presiden dan ketua partai, seperti yang dilakukan Xi Jinping, untuk beberapa waktu, negara Asia Tenggara ini dapat melihat gaya kepemimpinan yang lebih otokratis, menurut para analis, diplomat, dan aktivis.
Beberapa investor akan menyambut baik kemunculan seorang pemimpin yang lebih kuat yang dapat mengakhiri pertikaian politik yang sudah berlangsung lebih dari setahun, kata mereka. Pertikaian ini telah berdampak negatif pada investasi di negara yang menjadi rumah bagi operasi manufaktur besar bagi puluhan perusahaan multinasional.
Kebijakan ekonomi dan luar negeri diperkirakan tidak akan berubah secara substansial, tetapi kebebasan sipil dapat semakin terkikis, mereka memperingatkan.
"Jika Lam menjadi orang yang paling berkuasa di Vietnam tanpa adanya checks and balances, hal ini akan berdampak buruk bagi Vietnam dan mengikis norma sentralisme demokratis," ujar Carl Thayer, seorang pakar senior tentang Vietnam di Akademi Angkatan Pertahanan Australia.
Namun, belum jelas bagaimana dan kapan partai akan mengganti Trong dengan penjabat sekretaris jenderal atau sekretaris jenderal permanen.
Secara teori, Lam dapat melanjutkan kedua jabatan tersebut hingga 2026 ketika semua jabatan tertinggi akan diperebutkan untuk masa jabatan lima tahun ke depan. Trong sendiri memegang kedua posisi tersebut selama hampir tiga tahun hingga April 2021 setelah kematian mantan presiden.
Namun Lam mungkin akan menghadapi pertentangan internal yang bahkan dapat menyebabkan krisis suksesi, kata Le Hong Hiep dan Nguyen Khac Giang dari lembaga pemikir yang berbasis di Singapura, ISEAS-Yusof Ishak Institute, dalam sebuah artikel yang diterbitkan pada Jumat, 19 Juli 2024.