TEMPO.CO, Jakarta - Iran akan mengadakan pemilihan presiden putaran kedua pada 5 Juli 2024, setelah tidak ada satu pun kandidat teratas yang memperoleh lebih dari 50% suara dalam pemilihan Jumat. Hal ini diungkapkan kementerian dalam negeri Iran pada Sabtu 29 Juni 2024.
Tokoh moderat yang tidak mencolok dan anak didik pemimpin tertinggi Iran bersaing ketat dalam penghitungan suara, dalam pemilihan presiden mendadak akibat kematian Ebrahim Raisi akibat kecelakaan helikopter bulan lalu.
Pilpres ini ditandai oleh apatisme pemilih karena kesulitan ekonomi dan pembatasan sosial.
Lebih dari 14 juta suara telah dihitung sejauh ini dari pemungutan suara pada Jumat, di mana satu-satunya kandidat moderat Massoud Pezeshkian memenangkan lebih dari 5,9 juta suara. Sementara rival terkuatnya, negosiator nuklir Saeed Jalili meraup lebih dari 5,5 juta, hasil sementara oleh kementerian dalam negeri menunjukkan.
"Berdasarkan laporan yang belum dikonfirmasi, pemilihan umum kemungkinan besar akan berlanjut ke putaran kedua ... Jalili dan Pezeshkian akan bersaing dalam pemilihan putaran kedua," Tasnim melaporkan.
Beberapa orang dalam mengatakan jumlah pemilih sekitar 40 persen, lebih rendah dari yang diharapkan oleh para pemimpin ulama Iran. Sementara para saksi mengatakan bahwa tempat pemungutan suara di Teheran dan beberapa kota lain tidak ramai.
Kantor berita Tasnim Iran mengatakan pemilihan putaran kedua "sangat mungkin". Jika tidak ada kandidat yang menang sedikitnya 50 persen ditambah satu suara dari semua surat suara yang diberikan—termasuk suara kosong—putaran kedua antara dua kandidat teratas diadakan pada Jumat pertama setelah hasil diumumkan.
Pemilihan tersebut bertepatan dengan meningkatnya ketegangan regional akibat perang antara Israel dan sekutu Iran, Hamas di Gaza dan Hizbullah di Lebanon. Serta meningkatnya tekanan Barat terhadap Iran atas program nuklirnya yang berkembang pesat.
Meskipun pilpres tersebut tidak mungkin membawa perubahan besar dalam kebijakan Republik Islam, hasilnya dapat memengaruhi suksesi Ayatollah Ali Khamenei, pemimpin tertinggi Iran yang berusia 85 tahun, yang berkuasa sejak 1989.
Para ulama Iran berupaya meningkatkan jumlah pemilih untuk mengimbangi krisis legitimasi yang dipicu oleh ketidakpuasan publik atas kesulitan ekonomi dan pembatasan kebebasan politik dan sosial.
Presiden berikutnya diperkirakan tidak akan membawa perubahan besar dalam kebijakan terkait program nuklir Iran atau dukungan bagi kelompok milisi di seluruh Timur Tengah, karena Khamenei memegang kendali penuh atas masalah-masalah penting negara.
Namun, presiden menjalankan pemerintahan sehari-hari dan dapat memengaruhi nada kebijakan dalam dan luar negeri Iran.
Pandangan Pezeshkian sangat berbeda dengan pandangan Jalili, yang menganjurkan persahabatan dengan Barat, reformasi ekonomi, liberalisasi sosial, dan pluralisme politik. Seorang yang sangat anti-Barat, kemenangan Jalili akan menandakan tiadanya kemungkinan perubahan dalam kebijakan dalam dan luar negeri Republik Islam, kata para analis.