Ketegangan Politik
Lebanon belum memiliki kepala negara atau kabinet yang sepenuhnya berdaya sejak masa jabatan Michel Aoun sebagai presiden berakhir pada 31 Oktober 2022, meninggalkan kekosongan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Pemerintahan Perdana Menteri Najib Mikati telah bekerja dalam kapasitas caretaker sejak saat itu. Mengisi kursi kepresidenan dan membentuk pemerintahan yang sepenuhnya berdaya membutuhkan kesepakatan di antara faksi-faksi yang terpecah belah di Lebanon.
Di satu sisi, kebuntuan ini mencerminkan persaingan di antara umat Kristen Maronit, yang memiliki hak untuk menduduki kursi kepresidenan dalam sistem pembagian kekuasaan sektarian di Lebanon.
Di sisi lain, hal ini mencerminkan perebutan kekuasaan antara gerakan Syiah Hizbullah yang didukung Iran - yang mendorong sekutunya, Aoun, ke kursi kepresidenan pada 2016 - dan para penentang yang telah lama menentang kepemilikan senjata oleh kelompok ini dan mengatakan bahwa mereka secara sepihak telah membuat Libanon terlibat dalam konflik lagi.
Dengan para politisi yang tidak menunjukkan kompromi dalam perebutan kekuasaan negara, kompromi mengenai kepresidenan mungkin akan menuntut jenis mediasi asing yang telah menyelamatkan Lebanon dari kebuntuan sebelumnya.
Krisis Pengungsi Suriah
Tiga belas tahun sejak konflik Suriah meletus, Lebanon masih menjadi rumah bagi populasi pengungsi per kapita terbesar di dunia: sekitar 1,5 juta warga Suriah - setengahnya adalah pengungsi yang secara resmi terdaftar di badan PBB untuk urusan pengungsi, UNHCR - di negara berpenduduk sekitar 4 juta jiwa.
Pendanaan untuk krisis Suriah menurun, yang mencerminkan kelelahan di antara para donor yang bergulat dengan konflik-konflik lain di seluruh dunia. Terlepas dari perbedaan-perbedaan yang ada, semua pihak dari berbagai spektrum politik di Lebanon sepakat bahwa warga Suriah harus dipulangkan.
REUTERS
Pilihan Editor: Siapakah pemimpin Hizbullah, Talib Sami Abdallah, yang Dibunuh Israel?