“Isu penggundulan hutan di Pulau Bodgaya untuk tujuan pertanian dan pembangunan lebih dari 200 bangunan tanpa izin merupakan contoh pelanggaran terhadap undang-undang tersebut,” ujarnya.
Liew mengatakan bahwa pemberitahuan untuk mengosongkan tempat tersebut dikeluarkan untuk sekitar 273 rumah yang dibangun di dalam Taman Laut Tun Sakaran yang dibatasi dari tanggal 2 Mei hingga 4 Mei. “Pembongkaran dan evakuasi pemukiman tidak sah dimulai pada tanggal 4 hingga 6 Juni 2024, dengan 138 pemukiman tidak sah dibongkar di zona panas. Sementara itu, rumah lainnya dibongkar oleh pemiliknya sendiri, dan sebagian pemilik meninggalkan rumahnya apa adanya.
“Menurut sumber PDRM yang terlibat dalam operasi tersebut, beberapa pemilik rumah membakar rumahnya selama tim operasi tidak berada di lokasi dengan tujuan untuk viral di media sosial dan menarik simpati serta perhatian netizen,” ujarnya.
Liew mengatakan operasi tersebut dilakukan karena masalah keamanan di tingkat distrik, menyusul insiden penembakan di Teluk Darvel dan aktivitas kriminal lintas batas di lokasi pemukiman tidak sah. Kedaulatan hukum negara yang berlaku dalam permasalahan ini harus ditegakkan.
Operasi tersebut terjadi setelah adanya pertemuan antara Sabah Parks dengan Polsek Semporna dan melibatkan PDRM, polisi laut, Kantor Distrik Semporna, ESSCom, Departemen Imigrasi, Departemen Registrasi Nasional, dan Dewan Distrik Semporna.
“Seluruh tindakan yang telah dilaksanakan telah disepakati oleh instansi terkait dalam beberapa sesi pertemuan, termasuk delapan perwakilan sah komunitas TSMP yang secara aklamasi meminta agar komunitas tidak sah tersebut segera dikeluarkan dari kawasan tersebut,” ujarnya.
Tindakan penggusuran ini menuai kritik setelah video yang menunjukkan pembongkaran rumah, sebagian dilakukan oleh pria berpakaian preman, tersebar di media sosial.
Suku Bajo adalah komunitas pelaut, banyak yang tinggal di lepas pantai di rumah perahu kayu atau gubuk yang dibangun di atas panggung di dalam dan sekitar pulau Semporna. Budaya nomaden mereka sudah ada sejak berabad-abad sebelum perbatasan laut dan mereka telah mendapatkan reputasi atas kemampuan mereka menahan napas di bawah air untuk waktu yang lama.
Para aktivis menyerukan perlakuan yang lebih manusiawi karena masyarakat yang lahir di laut tidak memiliki dokumen identitas atau akses terhadap fasilitas dasar seperti pendidikan, layanan keuangan atau kesehatan, sehingga membuat mereka rentan terhadap deportasi dan upaya penegakan hukum apa pun.
MALAY MAIL
Pilihan editor: Masih Jalani Kemoterapi, Kate Middleton Minta Maaf Tak Bisa Hadiri Parade Militer