TEMPO.CO, Jakarta - Unjuk rasa di Kaledonia Baru dalam sepekan terakhir yang menentang reformasi pemilu lokal di Prancis telah berubah menjadi kekerasan dan mendorong diberlakukannya penguncian wilayah. Protes yang diwarnai kekerasan itu menolak peraturan pemungutan suara baru yang diberlakukan oleh Prancis.
Para demonstran juga melakukan penjarahan serta penyerangan dengan pembakaran sehingga mengguncang wilayah Kepulauan Pasifik Prancis di Kaledonia Baru. Sebanyak enam orang tewas dan ratusan lainnya terluka ketika para demonstran bentrok dengan petugas keamanan. Ini adalah kekerasan terburuk yang pernah terjadi di Kaledonia Baru dalam 30 tahun terakhir.
Seberapa parah kekerasan di Kaledonia Baru?
Sebanyak enam orang tewas termasuk warga pribumi dan seorang pejabat keamanan Prancis . Lebih dari 200 orang telah ditangkap dan banyak pemimpin protes dijadikan tahanan rumah. Selain protes, massa juga menjarah toko-toko dan membakar gedung-gedung dan mobil.
Bagaimana tanggapan pihak berwenang?
Pada hari Kamis, Prancis mengumumkan keadaan darurat di wilayah tersebut, yang berlangsung selama 12 hari. Prancis mengerahkan sekitar 500 personel militer dan polisi tambahan dalam upaya untuk meredam kerusuhan yang telah membuat ibu kota, Noumea, berantakan. Biasanya ada 1.800 polisi dan polisi yang ditempatkan di wilayah tersebut.
Pihak berwenang di pulau itu juga memberlakukan jam malam, menutup bandara La Tontouta yang sibuk, menutup sekolah-sekolah dan melarang penggunaan platform media sosial, TikTok, serta pertemuan publik.
Apa yang memicu terjadinya kerusuhan?
Protes massal meletus pada hari Selasa setelah parlemen Prancis meloloskan reformasi pemilihan umum provinsi di Kaledonia Baru, yang memungkinkan penduduk erancis yang telah tinggal di sana selama 10 tahun atau lebih untuk memilih. Anggota parlemen memberikan suara terbanyak mendukung undang-undang baru tersebut. Pemerintah Prancis berpendapat bahwa langkah ini “mendukung demokrasi” di gugusan kepulauan tersebut.