TEMPO.CO, Jakarta - Iran menggelar pemilihan parlemen pada Jumat 1 Maret 2024 yang dipandang sebagai ujian terhadap popularitas kelompok ulama di saat meningkatnya perbedaan pendapat mengenai serangkaian krisis politik, sosial dan ekonomi.
Pemungutan suara tersebut akan menjadi ukuran formal pertama mengenai opini publik, setelah protes anti-pemerintah akibat kematian Mahsa Amini pada 2022-2023 berubah menjadi kekacauan politik terburuk sejak Revolusi Islam pada 1979.
Kritikus dari dalam dan luar elit penguasa, termasuk politisi dan mantan anggota parlemen, mengatakan legitimasi sistem teokratis Iran bisa dipertaruhkan karena kesulitan ekonomi dan kurangnya pilihan pemilu bagi sebagian besar penduduk muda yang kesal dengan pembatasan politik dan sosial.
Pemerintah Iran telah berusaha untuk membangkitkan antusiasme di kalangan pemilih untuk memilih anggota parlemen dan majelis yang akan menunjuk pengganti Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamanei yang berusia 84 tahun.
Menjelang pemungutan suara Majelis Ahli pada Jumat yang juga bersamaan dengan pemilihan parlemen, beredar video di media sosial yang menunjukkan pemandangan yang tidak terduga: para pendukung calon anggota parlemen di kota-kota kecil menari diiringi musik keras di acara-acara kampanye.
Pertunjukan di depan umum, yang biasanya dilarang, menunjukkan upaya untuk meringankan suasana hati masyarakat dan mendorong minat menghadiri pemungutan suara. Apalagi ketika rezim berupaya membuat garis tipis antara mempersempit jumlah kandidat dan memenangkan dukungan rakyat.
Bahkan terdapat tanda-tanda toleransi resmi terhadap pemilih perempuan yang memilih untuk tidak mengenakan jilbab.
Hadi Tahan Nazif, juru bicara Dewan Wali, sebuah badan ulama, mengatakan bulan lalu ketika ditanya apakah perempuan tanpa jilbab dapat memilih: “Hak untuk memilih tidak ditolak oleh undang-undang apa pun, dan bahkan tidak dapat dicabut oleh pengadilan. ”
Mohammad-Sadegh Javadi-Hesar, seorang politisi reformis, berkata: “Saya benci mengatakan ini, tapi mereka meminta suara. Mereka melakukan semua yang mereka bisa untuk membujuk para pemilih, mengesampingkan kekhawatiran lain untuk saat ini – termasuk jilbab.”
Jajak pendapat terbaru yang dilakukan oleh saluran televisi pemerintah menunjukkan jumlah pemilih nasional akan mencapai 41,5 persen. Sementara survei yang dilakukan oleh Ispa, sebuah lembaga pemungutan suara semi-resmi, memperkirakan jumlah pemilih akan mencapai 38,5 persen.
Ketika Presiden Ebrahim Raisi terpilih pada 2021, kelompok konservatif melarang kelompok moderat dan reformis dari dalam rezim untuk mencalonkan diri. Namun, pilihan terbatas tersebut menyebabkan jumlah pemilih di bawah 50 persen untuk pertama kalinya dalam pemilihan presiden sejak revolusi Islam pada 1979.
Ayatollah Ali Khamenei, Pemimpin Tertinggi, pada Rabu menyerukan pendekatan nasional daripada pendekatan faksional dalam pemilu. “Mereka yang mencintai negaranya, rakyatnya, dan keamanannya harus tahu bahwa semua orang akan menderita akibat pemilu yang lemah,” katanya.