TEMPO.CO, Jakarta - Salah satu hakim di Mahkamah Internasional atau ICJ, Julia Sebutinde, mematik kontroversi karena menjadi satu-satunya hakim yang menolak keenam langkah yang diperintahkan ICJ kepada Israel.
Bahkan hakim asal Uganda ini dianggap lebih sadis dibanding hakim asal Israel Aharon Barak, yang masih memberikan putusan mendukung Afrika Selatan melawan negaranya sendiri.
Itu sebabnya Uganda sampai perlu mengumumkan bahwa yang dilakukan Sebutinde tidak terkait dengan sikap pemeritah.
"Hakim Sebutinde yang bertugas pada Mahkamah Internasional (ICJ) tidak mewakili posisi Pemerintah Uganda mengenai situasi di Palestina," kata Wakil Tetap Uganda di PBB, Adonia Ayebayer, dalam cuitan X.
Siapa sebenarnya Sebutinde? Ahli hukum ini adalah lulusan Inggris, bekerja di Kementerian Kehakiman Uganda hingga menjadi jaksa agung. Ia sempat bergabung dengan Sekretariat Persemakmuran, London sebagai Konsultan Legislatif dan ditugaskan di Republik Namibia yang baru merdeka pada 1991-1996.
Pada tahun 1996 ia diangkat menjadi Hakim Pengadilan Tinggi Uganda, memimpin tiga Komisi tingkat tinggi yang masing-masing menyelidiki dugaan korupsi di Kepolisian Uganda, Kementerian Pertahanan, dan Otoritas Pendapatan Uganda.
Sebutinde, 69 tahun, saat ini menjalani masa jabatan keduanya di Mahkamah Internasional (ICJ) setelah terpilih kembali pada 12 November 2020. Dia juga saat ini menjabat rektor Universitas Kerajaan Muteesa I, sebuah universitas milik kerajaan Buganda.
Dia telah menjadi hakim di pengadilan tersebut sejak Maret 2012. Dia adalah wanita Afrika pertama yang duduk di ICJ. Sebelum terpilih menjadi anggota ICJ, Sebutinde juga pernah menjadi hakim Pengadilan Khusus Sierra Leone pada 2007.
Hakim Julia Sebutinde yang memberikan suara menentang semua tindakan darurat yang diajukan di Mahkamah Internasional (ICJ) beralasan bahwa kasus Afrika Selatan tidak cukup menunjukkan bahwa tindakan Israel mempunyai niat genosida.
Afrika Selatan membawa kasus ini ke ICJ bulan ini, memintanya memberikan tindakan darurat untuk menghentikan pertempuran yang telah menewaskan lebih dari 26.000 warga Palestina.
Mereka menuduh Israel melakukan genosida dalam serangannya yang dimulai setelah militan Hamas menyerbu dari Gaza ke Israel, menewaskan 1.200 orang dan menculik lebih dari 240 orang.
Pertimbangan Sebutinde
Sebutinde mengatakan bahwa perselisihan antara Israel dan Palestina secara historis bersifat politis atau teritorial dan “Saya yakin, merupakan perselisihan ideologis,” katanya.
“Ini bukanlah sengketa hukum yang dapat diselesaikan secara yudisial oleh Pengadilan,” kata hakim dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan bersamaan dengan putusan pada hari Jumat, 26 Januari 2024.
Prasyarat untuk indikasi tindakan sementara belum terpenuhi, katanya.
“Afrika Selatan belum menunjukkan, bahkan secara prima facie, bahwa tindakan yang diduga dilakukan oleh Israel dan yang dikeluhkan oleh Pemohon, dilakukan dengan tujuan genosida, dan sebagai akibatnya, tindakan tersebut dapat masuk dalam cakupan Konvensi Genosida,” katanya seperti dikutip dari Arabnews.
Prima facie adalah bahasa Latin untuk “pada pandangan pertama” untuk menunjukkan pemeriksaan awal.
“Demikian pula, karena tindakan yang diduga dilakukan oleh Israel tidak disertai dengan niat melakukan genosida, Pemohon belum menunjukkan bahwa hak-hak yang ditegaskannya dan yang dicari perlindungannya melalui indikasi tindakan sementara adalah masuk akal berdasarkan Konvensi Genosida,” kata Sebutinde. .
“Tindakan sementara yang ditunjukkan oleh Pengadilan dalam Perintah ini tidak dapat dibenarkan,” katanya.
Sehubungan dengan konflik antara Israel dan rakyat Palestina, Sebutinde mengatakan bahwa kasus yang diajukan di ICJ adalah “upaya putus asa untuk memaksakan suatu kasus ke dalam konteks perjanjian semacam itu, guna mendorong penyelesaian yudisial.”
“Perjanjian ini tidak hanya menyerukan penyelesaian secara diplomatis atau melalui perundingan, namun juga implementasi dengan itikad baik atas semua resolusi Dewan Keamanan yang relevan oleh semua pihak yang berkepentingan, dengan tujuan untuk menemukan solusi permanen dimana bangsa Israel dan Palestina dapat hidup berdampingan secara damai,” kata Sebutinde.
“…perselisihan atau kontroversi tersebut bukanlah perselisihan hukum yang memerlukan penyelesaian yudisial oleh Mahkamah Internasional,” katanya.
Sebutinde mengatakan bahwa solusi permanen terhadap konflik hanya dapat dicapai melalui “perundingan dengan itikad baik antara perwakilan Israel dan Palestina yang berupaya mencapai solusi dua negara yang adil dan berkelanjutan.”
ARABNEWS, REUTERS
Pilihan Editor 3 Tentara AS di Yordania Tewas Diserang Drone, Biden Langsung Tuding Iran