TEMPO.CO, Jakarta - Di masyarakat populer ungkapan politik itu kejam. Bahkan bisa berujung kekerasan. Penembakan misalnya, jika di Indonesia ada dua orang yang mengancam menembak salah satu capres, di Ekuador, penembakan itu benar-benar terjadi. Fernando Villavicencio, calon presiden Ekuador tewas saat kampanye di ibu kota Wuito.
Dilansir dari thestatesman.com, tembakan tersebut tepat mengenai kepala calon presiden dari Partai Bangun Gerakan Ekuador itu. Suara tembakan yang dilepaskan kemudian diikuti dengan teriakan dan keributan. Selain kepanikan mengevakuasi korban, keributan juga terjadi lantaran baku tembak antara penjaga dan pelaku yang tak bisa terhindarkan lagi.
Presiden Guillermo Lasso kala itu menuding organisasi kejahatan terorganisir yang menjadi dalang dibalik terbunuhnya Fernando. Polisi akhirnya menahan enam tersangka setelah melakukan penggerebekan di Quito. Namun, berdasarkan keterangan kantor jaksa agung Ekuador, salah satu tersangka tewas dalam tahanan akibat luka yang dideritanya dalam insiden baku tembak. Diketahui tersangka tewas tersebut merupakan tersangka utama yang melakukan penembakan.
Fernando sejatinya bukan merupakan calon utama dalam jajak pendapat. Namun, rekam jejaknya sebagai mantan jurnalis dan aktivis antikorupsi membuat masyarakat banyak mendukungnya. Sebelum penembakan itu terjadi, Fernando juga mengaku telah banyak menerima ancaman pembunuhan. Salah satu yang diterimanya adalah dari afiliasi Kartel Sinaloa Meksiko. Ini merupakan satu dari banyaknya kelompok kejahatan terorganisir yang beroperasi di Ekuador.
Diduga kampanye yang dilakukan oleh Fernando menjadi ancaman utama bagi kelompok-kelompok tersebut. Para pendukungnya mengatakan bahwa kampanye yang dilakukannya telah memberikan harapan bahwa negara dapat mengatasi geng penjahat tersebut.
Fernando Villavicencio lahiran 11 Oktober 1963. Ia dikenal sebagai jurnalis dan aktivis antikorupsi. Nilai-nilai yang ia pegang kuat serta komitmen yang mendalam terhadap keadilan, memberikan pengaruh besar terhadap lingkungan sosio-politik Ekuador.
Pada awalnya Fernando dikenal sebagai jurnalis yang tak kenal takut di Ekuador. Ia sering mengungkap terjadinya korupsi dan kekerasan. Keberaniannya ini tak jarang berujung bentrok dengan penguasa, sehingga memaksanya mengasingkan diri ke Peru. Akibat kritik yang dilakukannya terhadap rezim mantan Presiden Rafael Correa, dia harus menghadapi hukuman penjara dan baru bebas pada 2018 silam.
Setelah kembali ke Ekuador, Fernando beralih ke dunia politik. Pada 2021, ia memenangkan kursi di Majelis Nasional. Selama masa jabatannya, ia banyak menekankan transparansi, akuntabilitas, dan perlindungan sosial. Selanjutnya, pada pemilu Ekuador 2023 ia dengan langkah berani mencalonkan diri sebagai presiden. Dirinya masih berfokus pada pemberantasan korupsi, kekerasan, dan pelestarian lingkungan.
Kampanye yang disampaikan oleh Fernanado diterima baik oleh masyarakat yang sudah lelah dengan korupsi. Perjalanannya banyak diwarnai dengan berbagai rintangan, mulai dari tantangan pencalonan hingga jajak pendapat yang berfluktuasi. Tak hanya itu, selama pencalonannya sebagai presiden, ia juga banyak menghadapi ancaman pembunuhan. Beberapa diantaranya seringkali dikaitkan dengan Kartel Sinaloa, dengan ancaman terbarunya hanya terjadi seminggu sebelum insiden penembakan tragis tersebut. Seperti diketahui, pembunuhan itu terjadi kurang dari dua minggu sebelum pemilu nasional. Mengutip dari laman Thestatesman, sehari sebelum kematiannya, Fernando bahkan telah mengajukan pengaduan ke Kementerian Kehakiman terhadap sebuah perusahaan minyak yang tidak disebutkan namanya.
SHARISYA KUSUMA RAHMANDA | TIM TEMPO.CO
Pilihan Editor: Fakta Terbaru Dua Pengancam Tembak Capres Anies Baswedan