TEMPO.CO, Jakarta - Pesawat tempur, kapal, dan kapal selam Amerika Serikat dan Inggris melancarkan puluhan serangan udara di seluruh Yaman pada Jumat dini hari sebagai pembalasan terhadap Houthi atas perintah Presiden Joe Biden.
Serangan dilancarkan setelah Houthi melakukan serangan terhadap kapal-kapal Laut Merah sejak November. Ini sebagai respons Houthi atas genosida yang dilakukan Israel terhadap warga Palestina di Gaza.
Pemerintahan Biden memberi tahu Kongres tentang serangan yang akan dilakukan, tetapi tidak meminta persetujuannya.
APA YANG DILAKUKAN BIDEN?
Amerika Serikat melancarkan serangan militer terhadap situs-situs yang dioperasikan oleh Houthi yang didukung Iran di Yaman, menargetkan infrastruktur militernya.
Angkatan Udara AS mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa mereka telah “melakukan serangan yang disengaja terhadap lebih dari 60 sasaran di 16 lokasi militan Houthi, termasuk pusat komando dan kendali, depot amunisi, sistem peluncuran, fasilitas produksi, dan sistem radar pertahanan udara”.
Pada September 2023, New York Times melakukan survei terhadap calon presiden. Mengenai masalah ini, Biden menjawab bahwa jika dia terpilih pada 2024, dia akan meminta izin Kongres untuk memulai perang besar.
Namun menambahkan bahwa dia yakin memiliki kekuatan untuk “mengarahkan operasi militer AS terbatas ke luar negeri tanpa persetujuan Kongres sebelumnya, ketika operasi tersebut bermanfaat bagi kepentingan AS".
Hal ini berbeda dengan pendirian Biden pada 2007, ketika, dalam sesi tanya jawab dengan Boston Globe, ia mengatakan: “Konstitusi sudah jelas: kecuali untuk menanggapi serangan atau ancaman serangan, hanya Kongres yang boleh mengizinkan perang dan penggunaan kekuatan.”
BAGAIMANA BUNYI KONSTITUSI?
Beberapa anggota Kongres Amerika Serikat menuduh Presiden Biden melanggar Konstitusi dengan mengizinkan serangan semalaman di Yaman.
Anggota Kongres dari Partai Demokrat Cori Bush menulis di X, “Rakyat tidak ingin lebih banyak uang pembayar pajak digunakan untuk perang tanpa akhir dan pembunuhan warga sipil. Hentikan pengeboman dan lakukan yang lebih baik bersama kami.”
Anggota parlemen Demokrat progresif lainnya termasuk Rashida Tlaib, Mark Pocan dan Ro Khanna juga menggunakan platform media sosial X untuk mengecam tindakan militer tersebut karena melanggar Pasal 1 Konstitusi.
Namun, bukan hanya Partai Demokrat yang keberatan dengan serangan Biden itu. Mike Lee dari Partai Republik membagikan postingan X Ro Khanna sebagai persetujuan. “Konstitusi penting, apapun afiliasi partainya,” tulisnya.
Kendati demikian, ketentuan dalam undang-undang AS memberi Gedung Putih wewenang untuk melancarkan aksi militer asing secara terbatas, kata para ahli.
“Sebenarnya tidak ada alasan kuat untuk mencegah Biden melakukan tindakan semacam ini,” kata Michael O’Hanlon, direktur penelitian kebijakan luar negeri di Brookings Institution.
Beberapa tokoh Demokrat progresif yang mengkritik Biden mencatat bahwa Pasal 1 Konstitusi AS mengharuskan Kongres mengizinkan perang, bukan presiden, salah satu “checks and balances” yang merupakan ciri sistem politik AS.
Namun Pasal 2 Konstitusi menunjuk presiden sebagai panglima angkatan bersenjata dan memberinya wewenang untuk menggunakan kekuatan militer tanpa izin kongres untuk tujuan pertahanan.
Para pendukung Biden mengatakan tujuan pertahanan tersebut mencakup respons terhadap serangan terhadap pangkalan AS di Irak dan Suriah serta kapal komersial di Laut Merah.