TEMPO.CO, Jakarta - Aliansi tentara etnis minoritas di Myanmar utara telah menyetujui gencatan senjata dengan militer yang berkuasa, kata pemimpin salah satu kelompok tersebut, TNLA, pada Jumat, 12 Januari 2024, seraya menambahkan bahwa pembicaraan tersebut melibatkan utusan dari negara tetangga, Cina.
Militer, yang menggulingkan pemerintahan terpilih pada 2021, telah memerangi pemberontak Myanmar yang berusaha mengakhiri kendali mereka atas wilayah mereka sejak akhir Oktober, dengan kekerasan yang intens di sepanjang perbatasan utara dengan Cina.
Serangan gabungan ini merupakan tantangan medan perang terbesar bagi militer sejak kudeta dan menimbulkan kekhawatiran di Cina mengenai prospek gangguan perdagangan perbatasan dan masuknya pengungsi.
Dalam perundingan yang difasilitasi oleh utusan Cina Deng Xi Jin, Aliansi Tiga Persaudaraan sepakat untuk “menghentikan senjata tanpa melakukan kemajuan lebih jauh,” pemimpin TNLA, yang menolak disebutkan namanya karena sensitifnya perundingan tersebut, mengatakan kepada Reuters.
“Dari sisi (aliansi), perjanjian ini adalah untuk menahan diri dari serangan ofensif terhadap kamp atau kota musuh. Dari sisi militer, perjanjian tersebut adalah untuk tidak terlibat dalam serangan melalui serangan udara, pengeboman, atau senjata berat.”
Junta Myanmar tidak segera memberikan konfirmasi.
Dua kelompok lain dalam aliansi tersebut, Tentara Aliansi Demokratik Nasional Myanmar (MNDAA) dan Tentara Arakan (AA), tidak segera menanggapi permintaan komentar mengenai pembicaraan tersebut.
REUTERS
Pilihan Editor: Pasokan Senjata Biden ke Israel Langgar Hukum Internasional