Pembantaian Etnis Rohingya
Pada Agustus 2017, bentrokan pecah di Rakhine. Saat itu kelompok militan yang dikenal sebagai Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) melancarkan kampanye brutal yang menghancurkan ratusan desa Rohingya dan memaksa hampir tujuh ratus ribu warga Rohingya meninggalkan Myanmar.
Menurut badan amal medis internasional Doctors Without Borders, setidaknya 6.700 warga Rohingya terbunuh pada bulan pertama serangan, antara 25 Agustus dan 24 September 2017. Pasukan keamanan Myanmar juga diduga menembaki warga sipil yang melarikan diri dan menanam ranjau darat di dekat perlintasan perbatasan yang digunakan oleh warga Rohingya untuk melarikan diri ke Bangladesh. Keamanan Myanmar mengklaim bahwa mereka sedang melakukan kampanye untuk mengembalikan stabilitas di wilayah barat negara tersebut.
Sejak awal tahun 2018, pihak berwenang Myanmar juga dilaporkan telah membersihkan desa-desa Rohingya yang ditinggalkan dan lahan pertanian untuk membangun rumah, pangkalan keamanan, dan infrastruktur. Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menggambarkan kekerasan tersebut sebagai pembersihan etnis dan situasi kemanusiaan sebagai bencana besar. Kelompok hak asasi manusia dan pemimpin PBB lainnya mencurigai telah terjadi tindakan genosida, dan pada bulan September 2018.
Kebijakan diskriminatif pemerintah Myanmar sejak akhir tahun 1970an telah memaksa ratusan ribu Muslim Rohingya meninggalkan rumah mereka di negara yang mayoritas penduduknya beragama Budha tersebut. Pemerintah Myanmar diduga melakukan diskriminasi terhadap etnis Rohingya melalui pembatasan pernikahan, keluarga berencana, pekerjaan, pendidikan, pilihan agama, dan kebebasan bergerak.
Misalnya, pasangan Rohingya di kota utara Maungdaw dan Buthidaung hanya diperbolehkan memiliki dua anak. Warga Rohingya juga harus meminta izin untuk menikah. Kemudian Rohingya harus memberikan foto pengantin wanita tanpa jilbab dan pengantin pria dengan wajah yang dicukur bersih. Syarat tersebut tentu sangat bertentangan dengan adat istiadat Muslim.
Tak hanya itu saja, untuk pindah ke rumah baru atau bepergian ke luar kota asal mereka, warga Rohingya harus mendapatkan persetujuan pemerintah. Selain itu, Negara Bagian Rakhine adalah negara paling terbelakang di Myanmar, dengan tingkat kemiskinan sebesar 78 persen, dibandingkan dengan rata-rata nasional sebesar 37,5 persen, menurut perkiraan Bank Dunia.
Kemiskinan yang meluas, infrastruktur yang buruk, dan kurangnya kesempatan kerja di Rakhine telah memperburuk perpecahan antara umat Buddha dan Muslim Rohingya. Ketegangan ini diperparah oleh perbedaan agama yang terkadang berubah menjadi konflik.
Hingga kemudian mereka melakukan eksodus dengan menyeberang melalui darat ke Bangladesh, sementara yang lain melalui laut untuk mencapai Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Sebenarnya pengungsi Rohingya tidak ingin meninggalkan Myanmar. Mereka terpaksa mengungsi. Kebanyakan pengungsi Rohingya mengatakan kepada UNHCR bahwa mereka berharap dapat pulang ke Myanmar jika kondisinya memungkinkan.
RIZKI DEWI AYU
Pilihan Editor: AS Minta Israel Lebih Akurat dalam Menargetkan Sasaran di Gaza