TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat dan Kedutaan Besar Israel di Washington D.C, secara terbuka berselisih mengenai penghancuran rumah warga Palestina di wilayah pendudukan Tepi Barat pada Jumat.
Perselisihan terbuka yang jarang terjadi itu diawali oleh kemarahan Misi Diplomatik AS untuk Palestina melalui akun sosial media mereka di X, dulu dikenal sebagai Twitter.
“Pemerintah Israel menghancurkan rumah keluarga Palestina sebagai balasan atas tindakan seorang anak berusia 13 tahun. Seluruh keluarga tidak boleh kehilangan rumah mereka akibat tindakan individual,” tulis akun @USPalAffairs.
Unggahan tersebut dibalas oleh akun Kedutaan Israel untuk Amerika Serikat. “Konteks sangat membantu: Anak 13 tahun itu adalah teroris yang membunuh seorang warga Israel dengan menikamnya hingga tewas,” tulis akun @IsraelinUSA.
Namun, netizen berbondong-bondong mengoreksi akun Kedutaan Besar Israel dengan melansir berita yang ditulis media AS, PBS pada Agustus lalu.
Menurut PBS, Mohammed Zalabani, 13 tahun, mencoba menikam seorang petugas polisi Israel sebelum terjatuh pada 13 Februari. Insiden ini terjadi dua pekan setelah polisi Israel menembak dan membunuh teman Mohammed karena mengacungkan senjata palsu
Seorang penjaga pribadi yang melindungi petugas tersebut menembak ke arah Mohammed, tetapi secara tidak sengaja mengenai dan membunuh rekannya sendiri.
Mohammed masih berada dalam tahanan remaja, menunggu persidangan atas tuduhan pembunuhan.
Israel sering menghancurkan rumah-rumah milik keluarga warga Palestina yang dituduh melakukan serangan dan kelompok hak asasi manusia mengecam tindakan tersebut, dengan mengatakan bahwa ini adalah bentuk hukuman kolektif.
Pengawas hak asasi manusia – seperti kelompok bantuan hukum HaMoked, yang mengajukan petisi atas keluarga Zalabani – menggambarkan penghancuran tersebut sebagai hukuman kolektif, yang mengakibatkan orang tua, saudara kandung, dan pasangan yang tidak terlibat menjadi tuna wisma.
Keluarga Zalabani, sebuah keluarga beranggotakan tujuh orang, untuk sementara waktu menyewa sebuah apartemen bawah tanah yang sempit.
“Penghancuran rumah dengan sengaja merugikan orang yang tidak bersalah dengan harapan dapat mencegah orang lain melakukan serangan,” kata Jessica Montell, direktur HaMoked. “Inilah yang membuat mereka terang-terangan ilegal dan tidak bermoral.”
Praktik ini didasarkan pada peraturan yang diberlakukan oleh Mandat Inggris pada 1945, yang memberi wewenang kepada komandan untuk menghancurkan rumah-rumah pemberontak.
Israel memanfaatkannya setelah merebut Yerusalem timur, Tepi Barat dan Gaza dalam perang Timur Tengah pada 1967.
Selama pemberontakan Palestina pertama dan kedua, Israel menghancurkan ratusan rumah milik militan. Beberapa pejabat keamanan memuji pembongkaran tersebut – di antara taktik keras lainnya – yang mampu meredam serangan.
Yaakov Amidror, mantan penasihat keamanan nasional Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, menggambarkan kasus-kasus di mana para ayah Palestina menyerahkan anak laki-laki mereka untuk mencegah mereka melakukan serangan yang dapat mengakibatkan penghancuran rumah mereka oleh Israel.
“Ini bukanlah solusi jitu untuk menghentikan terorisme,” katanya. "Itu membantu."
Namun pada 2005, tentara Israel sendiri merekomendasikan penghentian penghancuran tersebut setelah panel militer memutuskan bahwa kebijakan tersebut tidak mempunyai dampak selain mengobarkan permusuhan.
Udi Shani, pensiunan jenderal yang memimpin panel militer, mengatakan mereka tidak menemukan satu pun kasus pencegahan.
“Itu menyebabkan balas dendam,” katanya. “Itu hanyalah cara kami terlihat agresif di mata publik.”
Setelah hampir satu dekade di mana tentara hampir tidak pernah meledakkan rumah, tindakan hukuman tersebut dilanjutkan pada 2014 ketika terjadi serentetan serangan di Yerusalem. Kebangkitan kebijakan ini memicu perdebatan baru mengenai efektivitas, legitimasi dan legalitas kebijakan tersebut.
“Saya menganggap pembongkaran rumah sebagai tindakan yang tidak bermoral,” Menachem Mazuz, mantan jaksa agung dan pensiunan hakim Mahkamah Agung, baru-baru ini mengatakan kepada harian Israel Haaretz. “Sejarah tidak akan menilai kita dengan baik.”
Israel juga telah membunuh lebih dari 180 warga Palestina di Tepi Barat sejak 7 Oktober, ketika Hamas melancarkan serangan mendadak terhadap Israel dan Israel membalas dengan perang tanpa pandang bulu di Jalur Gaza.
Pilihan Editor: Israel Bombardir RS Al Shifa Gaza, Dokter Lintas Batas Kehilangan Kontak dengan Tim Medis
THE ARAB NEWS | PBS