TEMPO.CO, Jakarta - Masyarakat Moldova menggelar pemilihan kepala daerah serentak di tengah upaya Presiden Maia Sandu membawa bekas pecahan Uni Soviet itu bergabung dengan Uni Eropa dan melepaskan diri dari orbit Rusia. Sandu juga sempat menuduh Moskow mencoba cawe-cawe dalam pemilu lokal tersebut.
Dalam pilkada yang digelar Minggu, 5 November 2023 itu, kandidat dari Partai Aksi dan Solidaritas (PAS) yang mengusung Sandu tampaknya memiliki posisi lebih baik untuk menghadapi petahana dalam pemilihan putaran kedua di ibu kota Chisinau, dan sekutu-sekutu Sandu menyambut baik peluang partai tersebut secara keseluruhan. Sebuah partai pro-Rusia dilarang mengikuti pemilu dua hari sebelum pemungutan suara.
Ini adalah pemungutan suara nasional terakhir sebelum pemilihan presiden pada November 2024. Sebelumnya, Sandu mengecam invasi Rusia ke Ukraina dan menuduh Moskow berencana menggulingkannya melalui kudeta. Pekan ini, ia menuduh Rusia “membeli” pemilih dengan menyalurkan $5 juta selama dua bulan kepada “kelompok kriminal” yang dipimpin oleh pengusaha buronan Ilan Shor.
Pemilu yang akan memilih 12.000 pejabat ini mengadu puluhan partai satu sama lain, termasuk PAS yang berkuasa dan partai Kebangkitan pro-Rusia yang terkait dengan Shor, yang telah dihukum secara in absentia karena penipuan.
Pada hari Jumat, partai Chance, yang juga terkait dengan Shor, dilarang mengikuti pemungutan suara karena alasan keamanan. Kandidat Chance yang didiskualifikasi mendesak para pemilih untuk mendukung kandidat yang dianggap independen.
Walikota Chisinau Ion Ceban mengungguli kandidat PAS Lilian Carp, namun tidak mampu mencapai 50% yang dibutuhkan untuk meraih kemenangan langsung. Ceban, yang dulunya pro-Rusia, mendirikan partai pro-Eropa pada tahun 2022, meskipun PAS masih menganggapnya sebagai sekutu potensial Moskow.
“Kandidat PAS menunjukkan dalam pemilu kali ini bahwa Chisinau membutuhkan wali kota yang pro-Eropa,” kata Ketua Parlemen Igor Grossu di markas besar PAS.
Kota kedua di Moldova, Balti, kemungkinan besar akan dimenangkan oleh partai oposisi lain yang terkait dengan Shor tetapi dibiarkan mencalonkan diri. Aktivis PAS berharap partai tersebut akan mencapai tujuannya untuk memiliki pemerintahan yang pro-Eropa di 15 dari 31 distrik di Moldova.
Pejabat pemilu menyebutkan jumlah pemilih mencapai 41,41%, melebihi jumlah minimum 25% dan berarti sebagian besar pemilu dinyatakan sah.
Sandu memberikan suaranya di Chisinau tengah setelah mengantri dengan sabar di luar tempat pemungutan suara dan kemudian membela larangan terhadap partai yang terkait dengan Shor, yang diberlakukan dua hari sebelum pemungutan suara.
“Setiap orang harus mematuhi undang-undang tentang pendanaan partai dan undang-undang mengenai keamanan nasional,” katanya kepada wartawan.
“Tidak ada seorang pun yang kebal hukum, bahkan mereka yang memiliki miliaran lei (Moldova), baik itu berasal dari Rusia atau tempat lain dan digunakan untuk mendistorsi pemilu dan hasilnya.”
Partai Chance mengajukan keluhan pada hari pemungutan suara terhadap batasan partisipasinya.
Pemilu ini merupakan ujian penting bagi Sandu – terutama di kota-kota kecil dan desa-desa – setelah kemenangan telaknya pada 2020.
Menanggapi komentar Sandu pekan lalu, Kementerian Luar Negeri Rusia menyebut presiden Moldova itu “aib” dan mengatakan dia berusaha mengalihkan perhatian dari kegagalan pemerintahannya.
Dinas keamanan nasional menuduh Shor membantu menyalurkan 1 miliar lei Moldova (Rp864 miliar) ke Moldova untuk melancarkan protes anti-pemerintah selama perang di Ukraina dan untuk “membeli” pemilih.
Shor mengatakan dia mengirimkan uang tersebut untuk membantu para pensiunan, membiayai proyek infrastruktur sosial dan beberapa politisi. Dia membantah dana tersebut terkait dengan Rusia.
Shor dijatuhi hukuman 15 tahun penjara secara in-abstia pada bulan April atas perannya dalam skandal korupsi bank senilai $1 miliar. Sebuah partai yang menggunakan namanya dilarang oleh Mahkamah Konstitusi pada bulan Juni dan Partai Chance dibentuk untuk menghindari keputusan tersebut.
REUTERS
Pilihan Editor Blinken Bertemu Presiden Palestina Abbas, Terlalu Dini Bicara Masa Depan Gaza Tanpa Hamas?