Operasi Pasukan Quds
Pasukan Al Quds pertama kali aktif sebagai unit independen pada tahun 1982, ketika terlibat dalam Perang Saudara Lebanon setelah invasi Israel ke Lebanon. Pasukan ini memberikan dukungan kepada Hizbullah, sebuah milisi yang didominasi oleh Syiah dan didirikan pada tahun yang sama untuk melawan invasi Israel.
Mereka tetap menjadi sekutu dekat dan sponsor Hizbullah bahkan setelah berakhirnya perang saudara pada tahun 1990. Pada tahun 1990-an, fokus mereka beralih ke Afghanistan, terutama di perbatasan timur Iran, ketika mereka memberikan dukungan kepada Aliansi Utara dalam perlawanan terhadap munculnya Taliban.
Peran Pasukan Al-Quds semakin terlihat pada abad ke-21, terutama setelah invasi AS ke Irak pada tahun 2003 dan ketidakstabilan regional setelah Arab Spring. Di Irak, mereka memainkan peran penting dalam mengorganisir dan mendukung milisi Syiah melawan pasukan AS dengan berkoordinasi secara khusus dengan Organisasi Badr.
Selanjutnya, ketika pemberontakan tahun 2011 di Suriah berubah menjadi perang saudara, Pasukan Al-Quds datang untuk mendukung presiden Suriah, Bashar al-Assad, yang merupakan sekutu penting dalam "Poros Perlawanan" Iran, yaitu aliansi yang membentang geografis dari Iran hingga Lebanon. Di Yaman, mereka memberikan dukungan kepada Houthi, yang memperkuat pemberontakan mereka melawan pemerintah pusat setelah pemberontakan Yaman tahun 2011-2012.
Pasukan Al Quds juga memainkan peran utama setelah kelompok militan Negara Islam di Irak dan Syam (ISIS) memperoleh pijakan di Suriah dan Irak. Pasukan Al Quds juga membantu memobilisasi dan memimpin puluhan ribu milisi Syiah melawan kelompok teror tersebut.
Namun, pengaruh mereka dalam urusan dalam negeri Irak menjadi sasaran protes populer setelah komandan Pasukan Al-Quds, Qassem Soleimani, melakukan intervensi pada Oktober 2019 untuk mencegah penggulingan Perdana Menteri Irak, Adel Abdul Mahdi.
Pemimpin Pasukan Al Quds...