TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Antony Blinken mengatakan meminta Perdana Menteri Qatar Mohammed bin Abdulrahman Al Thani untuk "mengurangi retorika Al Jazeera tentang perang Israel Hamas di Gaza," menurut sebuah laporan.
Permintaan Blinken disampaikan pada Senin dalam pertemuan dengan para pemimpin komunitas Yahudi Amerika, Axios melaporkan, mengutip tiga orang yang hadir.
“Blinken mengatakan kepada para pemimpin Yahudi Amerika bahwa ketika berada di Doha pada 13 Oktober, dia meminta pemerintah Qatar untuk mengubah sikap publiknya terhadap Hamas,” katanya.
Salah satu sumber yang dikutip dalam laporan tersebut mengatakan Blinken meminta Qatar untuk "mengurangi volume liputan Al Jazeera karena penuh dengan hasutan anti-Israel."
Dikatakan bahwa Blinken "tampaknya berbicara tentang Al Jazeera dalam bahasa Arab, bukan dalam Al Jazeera bahasa Inggris."
Namun, Blinken tidak dapat mencontohkan retorika anti-Israel Al Jazeera saat ditanya balik oleh PM Qatar.
Media ini telah menjadi sumber informasi penting di tengah genosida Israel di Gaza dan selama puluhan tahun pendudukan apartheid Israel. Al Jazeera menampilkan laporan-laporan dari para jurnalis yang berada di Palestina, bahkan ketika para jurnalis di Gaza berisiko ditembaki dan dibunuh oleh pasukan Israel. Salah satu korban tewas adalah jurnalis Al Jazeera Palestina-Amerika, Shereen Abu Akleh.
Dua hari kemudian, istri dan dua anak kepala Biro Al Jazeera berbahasa Arab di Jalur Gaza, Wael al-Dahdouh, tewas dalam serangan udara Israel, tak lama setelah laporan Axios, menurut stasiun televisi yang berbasis di Doha.
Jaringan Media Al Jazeera didanai oleh pemerintah Qatar namun tetap menjaga independensi editorial.
Anadolu menghubungi Departemen Luar Negeri AS untuk meminta konfirmasi atas laporan tersebut tetapi belum menerima tanggapan.
Kementerian Luar Negeri Qatar belum mengomentari laporan tersebut.
Permintaan Blinken untuk menekan Al Jazeera muncul setelah Israel menyetujui peraturan darurat pekan lalu yang dapat membuka jalan untuk menutup outlet tersebut, yang oleh para pejabat Israel dianggap sebagai “propaganda musuh.”
Israel telah lama berupaya menutup Al Jazeera, salah satu dari sedikit perusahaan media internasional yang hadir secara fisik di Israel dan Gaza.
Pada 2017, Israel mengumumkan rencana untuk menutup kantor Al Jazeera di Yerusalem dan menghentikan siaran outlet tersebut, karena apa yang oleh para pejabat disebut sebagai “hasutan.”
Pada 2022, pasukan Israel menembak dan membunuh jurnalis Al Jazeera Palestina Shireen Abu Akleh; setelah berbulan-bulan menyangkal bahwa pasukan Israellah yang membunuhnya, militer Israel akhirnya mengakui bahwa “sangat mungkin” bahwa merekalah yang bertanggung jawab atas kematiannya.
Para pendukung pers bebas mengatakan bahwa pelarangan Al Jazeera adalah langkah berbahaya, dan Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ) mendesak Israel untuk mempertimbangkannya kembali.
“Kami sangat prihatin dengan ancaman pejabat Israel untuk menyensor liputan media tentang konflik Israel-Gaza yang sedang berlangsung, dengan menggunakan tuduhan samar-samar yang merugikan moral nasional,” Sherif Mansour, koordinator program CPJ untuk Timur Tengah dan Afrika Utara, mengatakan dalam sebuah pernyataan.
“CPJ mendesak Israel untuk tidak melarang Al-Jazeera dan mengizinkan jurnalis melakukan pekerjaan mereka. Keberagaman suara media sangatlah penting agar kekuasaan dapat dipertanggungjawabkan, terutama pada masa perang.”
Pilihan Editor: Israel Ingin Tutup Stasiun TV Al Jazeera, Dituduh Jadi Corong Hamas
ANADOLU | AXIOS