TEMPO.CO, Jakarta -Mohanad Yaqubi, sutradara asal Palestina, setiap hari menunggu kabar dari keluarganya di Gaza di tengah pertempuran Hamas dengan Israel yang tengah berlangsung sejak Sabtu lalu. Setiap pagi, saudaranya berjalan sekitar setengah kilometer untuk sampai ke tempat yang lebih tinggi, mencari sinyal untuk dapat mengirimkan pesan, “Kami masih hidup.”
Sulit bagi Yaqubi untuk berkomunikasi dengan mereka, karena jaringan internet di Gaza kerap terputus, begitu juga aliran listrik dan air bersih.
Bahkan pada Rabu, listrik di Gaza padam setelah satu-satunya pembangkit listrik di wilayah yang diblokade itu berhenti berfungsi, Ketua Otoritas Energi Palestina Thafer Melhem mengatakan kepada radio Voice of Palestine.
“Sudah seperti itu selama tiga hari, kami menunggu pesan pada jam tujuh pagi. Seperti setelah malam pengeboman, tidak tahu apakah mereka masih hidup atau tidak. Kami tunggu saja pesannya,” kata Yaqubi saat wawancara dengan Tempo pada Rabu, 12 Oktober 2023 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, tempat ia menjadi pengisi acara Madani International Film Festival 2023.
Film garapannya, Reels No. 21 AKA Restoring Solidarity, menjadi pembuka festival film tersebut, dan ia ditunjuk menjadi pembicara dalam diskusi panel.
“Untungnya saya mendapatkannya dua jam yang lalu… Jadi, pada jam dua siang hari ini, saya mendapat pesan dari saudara saya bahwa mereka masih hidup,” katanya.
Baca Juga:
Lahir sebagai anak pengungsi
Yaqubi mempunyai sekitar 60 sampai 70 anggota keluarga yang tinggal di Palestina, termasuk orang tua, dua saudara laki-laki, dan seorang saudara perempuan. Kakek-neneknya berasal dari Ahuzat Bayit, utara Jaffa, yang kini sudah menjadi kota metropolitan Tel Aviv.
Mereka diusir pada 1948, tahun didirikannya Negara Israel pada tanggal 5 Iyar di kalender Ibrani, atau disebut Yom Ha'atzmaut. Ayah Yaqubi lahir di Gaza sebagai pengungsi, dan ia lahir sebagai anak pengungsi.
“Saya tidak menjalani kesulitan seperti yang mereka jalani. Mereka tinggal di kamp pengungsian, mendapat jatah makanan terbatas… Saya tidak melalui itu, tetapi saya mendengar ceritanya. Itu menjadi bagian dari DNA saya,” katanya.
Selama masa kecilnya, ia tumbuh besar di berbagai negara. Orang tuanya berpindah-pindah dari Palestina ke Kuwait, Yordania, dan Mesir untuk bekerja. Mereka memutuskan untuk kembali ke Palestina setelah ditandatanganinya Perjanjian Damai Israel-Yordania pada 1994.
“Mereka tidak ingin pergi lagi. Karena perang, mereka ingin bertahan. Keluarga ada di sana, rumah ada di sana,” tuturnya.
“Lingkungan tempat saya dibesarkan sudah tidak ada lagi”
Yaqubi, 42 tahun, pindah dari Palestina enam tahun lalu bersama pasangannya untuk bekerja sebagai pengajar di Belgia. Sebelumnya, penduduk asli Gaza ini sempat tinggal di kampung halaman pasangannya di Ramallah, sementara keluarganya menetap di Gaza yang sedang digempur oleh misil sepanjang pekan ini.
Ia berbicara soal pengeboman karpet — istilah untuk pengeboman yang dilakukan berturut-turut layaknya karpet menutupi lantai — oleh Israel di Gaza. Dengan metode ini, Israel menghujani bom di tanah Gaza setiap 100 meter.
“Lingkungan tempat saya dibesarkan sudah tidak ada lagi. Tadinya lingkungan itu seperti tempat ini. Penuh dengan gedung-gedung besar, bank, kedai kopi, kedai es krim favorit saya… Semuanya hilang. Mereka membuatnya hilang hanya dalam 48 jam,” ucapnya.
Sebelum pengeboman, kata Yaqubi, para penduduk biasanya mendapat pemberitahuan. Sehingga mereka bisa pindah ke tempat lain yang aman sampai pengeboman selesai, kemudian kembali untuk melihat apa yang tersisa.
“Mereka melakukan apa yang disebut dengan ‘mengetuk atap’, yaitu menembakkan rudal kecil ke atap gedung untuk memberi tahu orang-orang bahwa mereka punya waktu lima belas menit untuk mengosongkan gedung,” ujarnya.
Praktik mengetuk atap dilakukan oleh Pasukan Pertahanan Israel (IDF) selama Perang Gaza 2008-2009, operasi Israel pada 2012, dan Konflik Israel-Gaza 2014 untuk menargetkan rumah polisi atau pemimpin Hamas.
Konflik Sheikh Jarrah 2021
Terakhir kali Yaqubi mengunjungi Gaza adalah pada 2021, setelah adanya rentetan kekerasan yang berlangsung selama sebelas hari, dipicu oleh unjuk rasa warga Palestina atas keputusan Mahkamah Agung Israel perihal penggusuran enam keluarga Palestina di lingkungan Sheikh Jarrah.
“Israel mengebom banyak tempat termasuk rumah tetangga kami, di samping rumah keluarga saya. Ada 15 orang yang tinggal di sana — dua keluarga — dan mereka tidak diberi tahu. Semuanya lenyap,” kata dia.
Dua pekan berada di kampung halaman, ia mengaku berat rasanya untuk berdiri di balkon rumah. Sebab, ia terbiasa melihat orang-orang yang sudah menjadi tetangganya sejak tahun 1980-an dan menyapa mereka dengan ucapan selamat pagi.
“Tiba-tiba, setelah 30 tahun, saya membuka jendela dan tidak melihat mereka lagi,” katanya.
Tinggal bersebelahan, rumah tetangganya biasanya menutupi sinar matahari menuju rumah keluarga Yaqubi. Setelah rumah itu runtuh, ibu Yaqubi menaruh tanaman di tempat yang kini langsung terpapar sinar matahari.
Ia berkata, “Itu membuat saya berpikir tentang bagaimana kuatnya orang-orang kami. Bagaimana kami terus maju, layaknya tanaman terus tumbuh. Mereka akan terus melawan kami, tetapi kami akan muncul seperti tanaman dari celah-celah kecil.”
Pilihan Editor: Putin Nilai Konflik Israel Palestina Manifestasi Ketidakadilan
NABIILA AZZAHRA A. | ILONA ESTERINA