TEMPO.CO, Jakarta - Dalam situasi Hamas vs Israel yang semakin panas dan intensif, diketahui Hizbullah sebagai kelompok milisi asal Lebanon ikut menyerang Israel. Tindakan tersebut tampak lebih berani saat negara lain masih berunding dan sekadar memberikan pernyataan sikap. Misalnya negara-negara Liga Arab yang berdiskusi dengan Rusia mengenai konflik berdarah tersebut.
Tentu langkah yang diambil Hizbullah bukanlah langkah yang asal-asalan. Pengaruhnya dalam geopolitik Timur Tengah perlu dipertimbangkan. Hal tersebut sudah terlihat sejak awal pendiriannya.
Dilansi dari Council on Foreign Relations (CFR), pada 1982, Parlemen Lebanon menandatangani perjanjian untuk mengakhiri perang saudara dan memberikan perwalian kepada Suriah atas Lebanon. Dalam perjanjian tersebut juga dimasukkan perintah pelucutan senjata semua kelompok milisi yang terlibat, kecuali Hizbullah.
Keadaan di atas memperlihatkan posisi Hizbullah yang diuntungkan. Pada tahun 1992, keadaan semakin menguntungkan bagi Hizbullah karena memenangkan delapan kursi Parlemen saat mengikuti pemilu nasional untuk pertama kalinya.
Pengaruhnya dalam politik dalam negeri semakin kuat pada tahun 2005, tepatnya saat partai Hizbullah menduduki kabinet. Hizbullah juga mengelola berbagai layanan kesehatan, mulai dari pendidikan, kesehatan, kepemudaan, dan lainnya yang tidak memandang latar belakang warganya. Hal tersebut menambah citra positif dari kalangan minoritas di Lebanon terhadap Hizbullah, sesuai dengan Laporan Pew Research Center pada tahun 2014.
Eksistensi Hizbullah juga sering diibaratkan negara dalam negara. Selain karena banyaknya layanan kemanusiaan dan jaringan politik yang kuat dan luas, hal tersebut juga dipengaruhi oleh penguasaan atas senjata. The International Institute for Strategic Studies memperkirakan Hizbullah memiliki 20.000 pejuang aktif dan 20.000 pejuang cadangan, dengan persenjataan berupa senjata kecil, tank, drone, rolet jarak jauh, dan sebagainya pada tahun 2020. Kenyataan ini sempat ditanggapi oleh PBB dengan mengerahkan Pasukan Perserikatan Bangsa-Bangsa di Lebanon (UNFIL) sebagai dorongan pelucutan senjata Hizbullah pada tahun 1978
Penguasaan atas senjata menjadikan Hizbullah salah satu milisi berpengaruh di Timur Tengah. Kelompok ini membangun aliansi jangka panjang dengan Iran dan Suriah, utamanya dalam penyerangan Israel dan pencegahan pengaruh Barat di Timur Tengah.
Salah satu peran terbukanya adalah terlibat dalam Perang Saudara Suriah. Bersama-sama dengan Iran dan Rusia, Hizbullah mendukung rezim Assad untuk melawan kelompok yang bertentangan. Namun, pengaruh luar negerinya juga berdampak pada situasi dalam negeri, yaitu menurunnya tingkat kepercayaan kelompok Sunni karena Hizbullah memerangi Sunni di Suriah.
Beberapa negara seperti Amerika Serikat dan negara Barat lainnya melabeli Hizbullah sebagai gerakan teroris atas aksi-aksinya dan keterlibatannya dalam konflik negara lain. Bahkan negara-negara Teluk Arab pun menganggap Hizbullah sebagai teroris.
Hubungan ini diperparah dengan cemoohan Hizbullah terhadap negara Teluk Arab yang menjalin kerja sama dengan Amerika Serikat dan negara Barat lainnya. Salah satu bentuk sikap yang berbeda dari negara Teluk Arab lainnya adalah Hizbullah ikut serta dalam perang Hamas vs Israel sebagai tindakan nyata dari komitmennya.
Pilihan editor: Pesawat Pertama AS Pembawa Senjata Mendarat di Israel