TEMPO.CO, Jakarta - Sedikitnya 49 warga sipil dan 15 tentara tewas ketika kelompok ekstremis Al Qaeda menyerang sebuah kapal dan kamp militer di Mali pada Kamis. Menurut pemerintah sementara Mali, masih banyak lagi yang terluka sehingga jumlah korban tewas kemungkinan bertambah.
“Pada 7 September 2023, sekitar pukul 11.00, kelompok teroris bersenjata menyerang sebuah kapal dari COMANAV [operator feri] antara Abakoira dan Zorghoi, di wilayah Rarhous,” kata militer Mali dalam sebuah pernyataan di media sosial, merujuk pada kota-kota di bagian tengah negara itu.
Perahu itu sedang melakukan perjalanan di Sungai Niger. COMANAV mengatakan dalam pernyataan terpisah bahwa “setidaknya tiga roket” telah menargetkan kapal tersebut, mengarah ke mesinnya.
Ketika kapal terdampar di jalur air dan tidak dapat bergerak, pejabat militer memimpin upaya evakuasi untuk membantu penumpang mencapai pantai, kata seorang pejabat COMANAV. Sungai merupakan jalur navigasi penting bagi wilayah tersebut, yang memiliki infrastruktur jalan yang relatif sedikit.
Serangan terpisah menargetkan instalasi tentara di timur di Lingkaran Bourem, bagian dari wilayah Gao.
Sebuah kelompok yang berafiliasi dengan Al Qaeda mengaku bertanggung jawab atas kedua serangan tersebut. Sekitar 50 penyerang tewas dan tiga hari berkabung nasional sudah diumumkan, kata pemerintah sementara.
Mali adalah salah satu negara Afrika Barat yang bergulat dengan pemberontakan kelompok bersenjata berafiliasi kepada Al Qaeda dan ISIS yang berbasis di wilayah utara pada 2012.
Para ekstremis menguasai wilayah yang membentang di Sahel dan pesisir Afrika Barat, meski dunia internasional berupaya mendukung pasukan pemerintah. Ribuan orang tewas dan lebih dari enam juta orang lainnya mengungsi di selatan Sahara.
Kecewa terhadap maraknya kondisi tidak aman telah memicu masing-masing dua kudeta di Mali dan di Burkina Faso sejak 2020 yang merupakan empat dari delapan kudeta di Afrika Barat dan Tengah dalam tiga tahun belakangan.
Sejak sekitar 13 Agustus, afiliasi lokal al-Qaeda, yang dikenal sebagai Kelompok Dukungan Islam dan Muslim atau JMIN, telah mengorganisir blokade di sekitar kota Timbuktu yang bersejarah di Mali, yang terletak dekat dengan Sungai Niger, sebelah timur kota tersebut, tempat serangan hari Kamis terjadi.
Blokade tersebut mengakibatkan banyak dari 35.000 penduduk Timbuktu menderita kerawanan pangan dan kenaikan harga kebutuhan dasar. Bantuan kemanusiaan juga terhenti.
Sebuah panel PBB juga mencatat pada Agustus bahwa para pejuang ISIS telah memperluas wilayah mereka hampir dua kali lipat dalam setahun terakhir, dan konfrontasi antara kelompok-kelompok yang bersaing diperkirakan akan terus berlanjut.
Ketidakstabilan di Mali sebagian besar terjadi setelah konflik 2012 yang menyebabkan pemberontak di wilayah utara mendorong kemerdekaan. Kemudian terjadi kudeta militer pada akhir tahun itu yang menggulingkan pemerintahan yang dipilih secara demokratis.
Sejak itu, negara ini telah mengalami dua kudeta lagi: satu pada tahun 2020 dan yang terbaru pada tahun 2021.
Kesepakatan damai pada 2015 berupaya untuk memadamkan pemberontakan di wilayah utara. Namun, gejolak di pemerintahan Mali telah menjadikan kesepakatan tersebut rapuh, sehingga memungkinkan terjadinya bentrokan berkelanjutan antara berbagai kelompok bersenjata.
Pilihan Editor: PBB Setop Misi Penjaga Perdamaian di Mali, AS Salahkan Grup Wagner
REUTERS | AL JAZEERA