TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Luar Negeri RI atau Kemenlu menyebut bahwa hal-hal yang semakin memperlambat terjadinya proses perdamaian dan rekonsiliasi kian menyulitkan posisi Myanmar sendiri. Ini menanggapi penundaan pemilu oleh junta militer di negara itu.
Sejauh ini belum ada tanggapan khusus dari ASEAN, yang tahun ini dipimpin oleh Indonesia. “Ini proses internal yang semakin memperlambat proses pemulihan demokrasi di Myanmar,” kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah saat ditemui wartawan di Jakarta pada Selasa, 1 Agustus 2023.
Faizasyah menambahkan, Kemlu akan mengikuti dari dekat perkembangan yang terjadi di Myanmar sebelum pemerintah memberikan evaluasi.
Junta Myanmar secara resmi menunda pemilu pada Agustus tahun ini. Semula, pemilu itu dijanjikannya setelah kudeta 2021 yang menyebabkan krisis berkelanjutan di salah satu negara Asia Tenggara itu.
Pemimpin junta Jenderal Min Aung Hlaing, dalam pertemuan pada Senin, 31 Juli 2023, dengan Dewan Pertahanan dan Keamanan Nasional (NDSC) yang didukung tentara, kemudian memutuskan memperpanjang keadaan darurat enam bulan lagi.
Myanmar berada dalam kekacauan sejak kudeta. Kisruh politik itu menuai kecaman global dan Barat kembali memberlakukan sanksi Naypyidaw. Gerakan perlawanan melawan militer di berbagai front setelah itu bermunculan.
ASEAN dibikin frustrasi oleh Tatmadaw yang dianggap tidak mematuhi mekanisme perdamaian yang disepakati blok, yakni konsensus lima butir. Konsensus menyerukan segera diakhirinya kekerasan; penyelenggaraan dialog di antara semua pihak; penunjukan utusan khusus; mengizinkan bantuan kemanusiaan dari ASEAN; dan mengizinkan utusan khusus mengunjungi Myanmar untuk bertemu dengan semua pihak.
Banyak pihak yang menganggap rencana perdamaian ASEAN atas krisis Myanmar itu tidak memberikan perkembangan signifikan dalam menyelesaikan masalah tersebut.
Tatmadaw atau militer Myanmar telah berjanji untuk mengadakan pemilihan pada Agustus 2023 setelah menggulingkan pemerintah terpilih yang dipimpin oleh peraih Nobel Aung San Suu Kyi. Namun mereka berdalih, kekerasan yang sedang berlangsung sebagai alasan untuk menunda pemungutan suara.
Militer merebut kekuasaan setelah mengadukan kecurangan dalam pemilihan umum November 2020 yang dimenangkan oleh partai Suu Kyi. Kelompok pemantau pemilu tidak menemukan bukti kecurangan massal.
Penggulingan pemerintah terpilih Suu Kyi menggagalkan satu dekade reformasi, keterlibatan internasional dan pertumbuhan ekonomi, sambil meninggalkan jejak kehidupan yang terbalik setelahnya.
Menanggapi pengumuman junta, Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat mengatakan memperpanjang keadaan darurat hanya akan menjerumuskan negara itu lebih dalam ke dalam kekerasan dan ketidakstabilan. "Kebrutalan rezim yang meluas dan mengabaikan aspirasi demokrasi rakyat Burma terus memperpanjang krisis," kata juru bicara Matthew Miller.
DANIEL A. FAJRI
Pilihan Editor: Cuaca Ekstrem di Arab Saudi, Suhu Diprediksi Bisa Tembus 50 Derajat