TEMPO.CO, Jakarta - Pembangunan Ibu Kota Indonesia yang baru terus digaungkan di dunia internasional. Sejumlah figur internasional didapuk sebagai Dewan Penasihat Ibu Kota Nusantara (IKN). Salahsatunya adalah Tony Blair mantan Perdana Menteri Inggris.
Selain Tony Blair, ada juga Masayoshi Son (CEO Softbank) dan Sheikh Mohammad bin Zayed al Nahyan (Presiden Uni Emirat Arab) dalam jajaran dewan penasehat.
Dilansir dari Tempo, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan alasan Presiden Joko Widodo memilih ketiga sosok ini, adalah karena figur secara internasional yang mereka punya. "Kami ingin ada internasional figur lah di situ," kata Luhut.
Pemerintah juga tidak mempersoalkan rekam jejak Blair yang pernah membawa Inggris terlibat dalam invasi Irak pada 2003. "Ya itu bukan urusan kami," kata Luhut saat ditemui usai menghadiri diskusi di Hotel Mulia, Jakarta, Rabu, 15 Januari 2020. Pemerintah hanya ingin memanfaatkan pengalaman Tony Blair untuk membangun ibu kota baru.
Anthony Charles Lynton Blair atau yang dikenal dengan Tony Blair lahir pada 6 Mei 1953. Ia sudah mendalami dunia politik sejak usia belia. Bahkan dirinya dinobatkan sebagai Perdana Menteri termuda dalam sejarah Britania Raya dengan masa kepemimpinan dimulai tahun 1997 hingga 2007.
Dilansir dari britannica, Tony Blair adalah putra dari pengacara kondang Leo Blair. Tony memiliki riwayat pendidikan yang cukup mentereng, ia pernah bersekolah di Fettes College di Edinburg dan Universitas Oxford. Antusiasmenya mengenai politik semakin memuncak setelah pertemuannya dengan sang istri Cherie Booth.
Tony Blair kemudian masuk dalam partai buruh, pada 1983 ia dipilih untuk menduduki kursi parlemen di Sedgefield. Kemudian di bulan Juli 1994 Blair berhasil menjabat sebagai pemimpin partai dengan dukungan 57 persen suara.
Sepak terjangnya di dunia politik semakin terkenal setelah ia menjadi perdana menteri Britania Raya. Namanya juga menjadi sorotan setelah membawa Inggris ikut menyerang Irak bersama Amerika dan menggulingkan pemerintahan Saddam Husein.
Blair ikut percaya Irak memiliki senjata pemusnah massal. Namun setelah menyerang Irak dan meninggalkan negara 1001 malam itu dalam konflik, tidak ditemukan senjata pemusnah massal di sana.
Tony Blair pun meminta maaf atas serangan tersebut. Melansir dari Koran Tempo, pernyataan itu ia sampaikan dalam wawancara dengan pembawa acara CNN, Fred Zakaria.
"Saya meminta maaf karena data intelijen yang kami gunakan ternyata salah. Program (Senjata pemusnah massal) itu tidak ada," kata Blair.
Pilihan Editor: Rusia Sebut AS Raja Bohong, Minta PBB Selidiki Perang Irak