Sejarah Bermulanya Kerusuhan di Pinggiran Prancis
Istilah “banlieue” berasal dari tahun-tahun setelah Perang Dunia II, ketika pemerintah Prancis mulai menyediakan pemukiman sosial secara massal. Hal ini berujung pada pembangunan ribuan blok menara di pinggiran kota-kota Prancis pada 1945–1975.
Kawasan tersebut awalnya dirancang untuk keluarga kelas menengah ke bawah yang sehari-hari pergi bekerja.
Akan tetapi, pada 1970-an—di tengah tingginya pengangguran, ketegangan rasial setelah Perang Aljazair, dan berakhirnya kolonialisme Prancis—blok-blok menara justru makin banyak ditempati oleh komunitas imigran berpenghasilan rendah.
Tak didanai lagi oleh pemerintah selanjutnya dengan prospek perumahan dan pekerjaan yang buruk, kawasan tersebut dicap sebagai area bermasalah dan berisiko tinggi. Kejahatan kian meningkat dan anak-anak muda di jalanan sering bentrok dengan polisi yang notabene memiliki reputasi brutal dan intoleran.
Kerusuhan banlieue pertama terjadi pada 1979 di pinggiran Kota Lyon, Vaulx-en-Velin, yang pecah setelah seorang remaja lokal keturunan Afrika Utara ditangkap. Namun, yang paling menonjol terjadi pada 2005 dan berlangsung selama tiga pekan.
Rangkaian peristiwa tersebut dimulai dari Clichy-sous-Bois, daerah utara Paris, ketika dua pemuda tersengat listrik dan meninggal saat mencoba menghindari polisi. Keadaan darurat pun diumumkan setelah pengunjuk rasa membakar gedung dan membakar mobil.
Menteri Luar Negeri Prancis yang kemudian menjadi presiden kala itu, Nicolas Sarkozy, mengobarkan ketegangan dengan menyebut anak-anak muda pengunjuk rasa sebagai “sampah” yang harus disapu bersih.
Ketegangan makin diperbesar oleh partai ekstrem kanan, khususnya National Front, yang mulai mencapai kesuksesan elektoral pada awal 2000-an.
Marine Le Pen, putri pendiri National Front yang mengubah nama partai itu menjadi National Rally pada 2018, menyebut kecaman Macron terhadap polisi Rabu lalu sebagai hal yang berlebihan dan tidak bertanggung jawab.
“Biarkan polisi melakukan pekerjaan mereka,” ujar Le Pen.
Meskipun kerusuhan 2005 mengirimkan gelombang kejutan ke seluruh negeri dan memicu reformasi di banlieues, insiden kerusuhan berulang menunjukkan bahwa tidak banyak yang berubah sejak saat itu.
Ketika para pengunjuk rasa dewasa ini mengklaim bahwa mereka tidak didengarkan, mereka merujuk pada program reformasi 2005 sebagai momen tanpa perubahan.
Sementara bagi remaja-remaja keturunan imigran yang tidak merasakan peristiwa tersebut, rasa frustrasi terhadap negara telah dipupuk melalui politik era pasca-2005.