Aditya Mukherjee, profesor sejarah India kontemporer di Universitas Jawaharlal Nehru di Delhi, mengatakan perubahan buku teks itu menetapkan "tren berbahaya" dan merupakan "upaya untuk menghapus nama Muslim, menghapus pencapaian mereka, menjelekkan dan mengucilkan mereka."
Dengan lebih dari 200 juta orang India yang mengaku Islam, India yang mayoritas beragama Hindu memiliki populasi minoritas Muslim terbesar di dunia. Saat prestasi Muslim dirusak, halaman gelap sejarah India yang terkait dengan mayoritas Hindu sedang dibuat putih.
“Mereka menyembunyikan peran fanatik dan komunalis Hindu. Mereka menyembunyikan hubungan RSS (kelompok paramiliter sayap kanan) dan organisasi fanatik Hindu lainnya dengan pembunuh Mahatma Gandhi,” kata Mukherjee. “Ini sangat bahaya bagi negara dengan multi-agama seperti negara kami.”
Archana Ojha, profesor sejarah di Universitas Jawaharlal Nehru, memperingatkan bahwa cara meringkas buku teks tidak ilmiah dan kerugian yang telah dilakukan dalam proses tersebut akan mempengaruhi generasi muda.
“Sejarah adalah narasi dan evaluasi kritis terhadap peristiwa masa lalu berdasarkan bukti ilmiah yang dikumpulkan. Revisi dalam sejarah terjadi ketika sumber-sumber baru dianalisis, dievaluasi dan dikuatkan oleh para sarjana,” katanya.
“Penghapusan dalam sejarah hanya akan menyisakan celah mencolok yang sulit dipahami oleh siswa. Kita perlu angkat bicara, bertukar pikiran dengan mereka yang berkuasa, membuat suara waras terdengar di depan umum dan mendidik massa sebelum kerusakan lebih lanjut terjadi.”
ARAB NEWS
Pilihan Editor: Jelang Lebaran, Pemerintah Pulangkan 154 PMI dari Detensi Imigrasi Malaysia