TEMPO.CO, Jakarta -Meski Presiden Rusia Vladimir Putin menangguhkan sementara partisipasi dalam perjanjian senjata nuklir dengan Amerika Serikat, Presiden Joe Biden yakin ini bukan sinyal Moskow mempertimbangkan penggunaan senjata nuklir.
Kendati demikian, Biden tetap menganggap keputusan Putin adalah kesalahan besar.
"Melakukan itu adalah kesalahan besar. Tidak begitu bertanggung jawab. Tapi saya tidak membaca bahwa dia berpikir untuk menggunakan senjata nuklir atau semacamnya," kata Biden kepada ABC News dalam sebuah wawancara, seperti dikutip Reuters, Kamis 23 Februari 2023.
Putin pada awal pekan ini mundur dari perjanjian kontrol senjata New START. Perjanjian itu membatasi jumlah hulu ledak nuklir strategis yang dikerahkan Rusia dan Amerika Serikat .
Pemimpin Rusia itu juga memperingatkan bahwa Moskow dapat melanjutkan uji coba nuklir.
Terlepas dari ultimatum itu, Rusia mengatakan akan tetap berpegang pada batasan yang disepakati pada rudal nuklir. Moskow juga akan terus memberi tahu Amerika Serikat tentang perubahan penempatannya meskipun ada penangguhan.
"Begini, saya pikir kita kurang aman ketika meninggalkan perjanjian pengendalian senjata yang sangat sesuai dengan kepentingan kedua belah pihak dan kepentingan dunia,” kata Biden saat ditanya dalam wawancara, apakah penangguhan perjanjian membuat dunia kurang aman.
Namun, Biden menambahkan tidak ada bukti yang menunjukkan adanya perubahan postur nuklir Rusia. "Gagasan bahwa entah bagaimana ini berarti mereka berpikir untuk menggunakan senjata nuklir, rudal balistik antarbenua, tidak ada buktinya," katanya.
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken pada Selasa, 21 Februari 2023, menyatakan, penangguhan yang diumumkan Rusia "sangat disayangkan dan tidak bertanggung jawab".
Sementara Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg mengatakan itu membuat dunia lebih berbahaya, mendesak Putin untuk mempertimbangkan kembali.
Moskow telah menuntut agar senjata nuklir Inggris dan Prancis yang ditargetkan terhadap Rusia dimasukkan dalam kerangka kontrol senjata. Posisi ini dipandang sia-sia oleh Washington setelah lebih dari setengah abad perjanjian nuklir bilateral dengan Rusia.