Rakyat Tunisia memilih untuk mengadopsi konstitusi baru pada Juli, yang mengubah negara dari demokrasi parlementer hibrida menjadi negara di mana presiden memiliki kekuasaan besar.
Partai-partai oposisi – yang sebagian besar memboikot pemungutan suara parlemen pada hari ini – mengatakan pengesahan konstitusi adalah langkah besar dalam perjalanan Tunisia menuju pemerintahan satu orang.
Hanya sekitar seperempat dari pemilih terdaftar ternyata memilih "ya" pada Juli dalam sebuah referendum tentang konstitusi baru, yang memberi presiden otoritas tertinggi atas pemerintah dan peradilan.
Itu terjadi 12 tahun setelah penjual sayur Tunisia Mohamed Bouazizi membakar dirinya dalam aksi protes yang memicu Musim Semi Arab – serangkaian pemberontakan populer di Timur Tengah dan Afrika Utara.
Kekurangan makanan, obat-obatan, dan bahan bakar telah menjadi tema berulang kehidupan Tunisia sepanjang 2022.
Banyak orang marah karena setelah menjanjikan begitu banyak, Presiden Saied berkonsentrasi pada perubahan politik – seperti membuat konstitusi baru – daripada mencari solusi ekonomi untuk kebutuhan mereka yang paling mendesak.
“Ada banyak produk yang hilang, seperti nasi, teh, dan kopi,” kata Mohammed, seorang pekerja di sebuah supermarket di Tunis, kepada Al Jazeera. “Tapi itu bukan hanya produk yang hilang. Harganya juga melonjak. Lihat sebotol minyak itu, 1,8 liter sekarang menjadi 18 dinar, sebelumnya tujuh atau delapan dinar, ini lebih dari dua kali lipat.”
Saied sebelumnya menyalahkan spekulan atas kekurangan pangan, tetapi rivalnya mengatakan dia harus disalahkan karena gagal menghidupkan kembali perekonomian negara.
Baca juga: Pertama Kali, Tunisia Izinkan Militer Ikut Pemilu
AL JAZEERA