TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah Singapura mengajukan rancangan undang-undang ke parlemen untuk mendekriminalisasi hubungan seks sejenis dan mengubah undang-undang pernikahan, Kamis, 20 Oktober 2022.
Undang-undang yang diusulkan di Singapura yang secara sosial konservatif mengikuti pengumuman Perdana Menteri Lee Hsien Loong pada Agustus lalu tentang rencana mencabut Bagian 377A dari KUHP, warisan pemerintahan kolonial Inggris dan tidak digunakan dalam beberapa dekade, yang membawa hukuman hingga dua tahun penjara untuk hubungan sesama pria.
Survei terbaru menunjukkan sikap terhadap lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) di Singapura lebih menerima. Tetapi perubahan belum tercermin dalam kebijakan pemerintah, yang menolak akses pasangan LGBT mendapat subsidi dan manfaat yang tersedia untuk pasangan heteroseksual.
Meskipun pencabutan pasal 377A sebagian besar disambut baik oleh kelompok LGBT, beberapa aktivis kecewa karena melegalkan hubungan sesama jenis atau mengejar kebijakan yang lebih setara terhadap pasangan LGBT tidak dipertimbangkan.
Yang kedua dari dua RUU yang diajukan pada hari Kamis berusaha untuk memastikan bahwa hanya legislator - bukan hakim - yang dapat memutuskan definisi hukum pernikahan, yang menjadi dasar kebijakan pemerintah, seperti perumahan pasangan dan keuntungan finansial.
Amandemen yang diusulkan, yang akan diperdebatkan oleh anggota parlemen pada 28 November, berusaha untuk melindungi definisi dan kebijakan pernikahan agar tidak dibatalkan oleh tantangan pengadilan atas konstitusionalitas mereka, menurut kementerian dalam negeri, pembangunan sosial dan keluarga.
"Pengadilan bukanlah forum yang tepat untuk memutuskan masalah sosial-politik penting seperti itu," kata kementerian dalam sebuah pernyataan bersama.
Sejak 2018, ada tiga tantangan yang gagal di pengadilan di Singapura yang berusaha untuk menjatuhkan undang-undang anti-gay, dengan penggugat berargumen bahwa undang-undang itu melanggar hak kebebasan, perlindungan yang sama dan kebebasan berbicara, berkumpul dan berserikat.
RUU tersebut diharapkan akan disetujui mengingat mayoritas 83 dari 92 kursi dimiliki Partai Aksi Rakyat yang berkuasa.
Amandemen yang diusulkan, bagaimanapun, masih dapat memberikan ruang bagi parlemen masa depan untuk memutuskan apakah definisi pernikahan harus diubah.
Meskipun perubahan undang-undang tidak akan mencegah seseorang untuk menantangnya, pengadilan mungkin kurang cenderung untuk menangani kasus, sehingga tantangan konstitusional akan lebih kecil kemungkinannya, kata Eugene Tan, profesor hukum di Universitas Manajemen Singapura.
Reuters